Ada yang kenal film ini?

| 3 komentar |

Hai... haha libur gini banyak bgt pr nya... ya tapi boleh kan diselingi dengan menonton film?? pernah beberapa kali nonton film ini, tapi ga pernah bosen ga tau kenapa... 
Menurut penelitian para ahli (halaaah asa ga enak) orang-orang Thailand memiliki kemiripan dengan orang-orang Indonesia seperti kita (bener gitu?) nah.. ternyata setelah diteliti lebih lanjut, film Thailand juga ga jauh beda sama film buatan Indonesia. kebanyakannya adalah film hantu-hantuan. oke kalo secara kualitas aku kurang tau (toh ga pernah suka nonton film hantu). Intinya ini adalah film Thailand pertama yang aku tonton. BUKAN TENTANG HANTU!! Film ini rameeeeeeeeee... sebetulnya sedih sih tapi yang bikin rame ini film punya satu permain yang pasti buat semua perempuan ingin nonton (ya ga? ga tau juga sih). Mario Maurer orang blasteran.. Thailand Jerman kalo ga salah... Tebak film apa ?? jeng jeng jeng jeeeng (sok asik)

 CRAZY LITTLE THING CALLED LOVE (FIRST LOVE)

ga tau deh judul yang benernya yang mana... hahaha.. kalo di Thailand nya mah First love. Nah pemeran utamanya yang ganteng itu namanya P'Shone:

ini mario maurer pemeran P'Shone



hehe... 

Ceritanya tuh dia ini kayak cowok idaman disekolahnya... tapi ternyata dia ini suka sama cewek jelek namanya nam. peran nam ini menurut aku sedikit mirip sama temen aku!! haha . dia ini berubah dari jelek jadi cantik banget!


Before

After
Naaah... pokoknya mah ujung-ujungnya mereka jadi deket...
cocok ya??

Naah (nah mulu dari tadi) P'shone itu yang jadi daya tarik filmnya buat anak-anak Pasat... (terutama cewe termasuk aku). Kita waktu itu sempet nonton film ini di waktu selang pelajaran... untuk refreshing (cenah)... setelah menonton film ini semua anak cewe pasat pada terpikat (haha naooon deui) sampai Farah Said Baisa (salah satu temen aku) yang cuek itu ikut nangis dan suka sama pemeran utama cowoknya itu... Oke ini beberapa foto P'Shone:
Adegan Putri salju (drama)
Dimata nam
Nam jatuh terus di bantuin
ini pas abis di hukum


ini pas mau berantem

Abis tendangan pinalti
Lagi tanding (masih aja senyum)
ngasih bunya pas valentine
patah hati

"ya udah lah ga apa-apa"
ditembak nam pake bunga (?) (loh mati dong?)
Ini The End nya...
Note: bagi yang blm nonton harus nonton!! :D
Salam angin pasat wushh!!

LEER MÁS...

Cerpenku tentang mimpi.. aku juga punya mimpi :P

| 0 komentar |

Setelah terinspirasi dari Nadi A. (makasih kawan :) aku juga punya mimpi... 
setiap orang pasti punya mimpi ya ga? nah... aku ini memang bukan orang yang suka membicarakan masalah mimpiku pada orang lain. Pertama kalau ngeliat orang lain yang udah bisa menentukan nanti bakal kuliah jurusan apa, aku suka jadi takut karena sepertinya aku belum punya pemikiran sampai kesitu padahal aku sudah kelas 10 (terus?) selama ini aku cuma mikir pokoknya harus masuk ITB (amiiiiiiin!!).
Mimpi yang satu ini (beberapa sih) sepertinya bersifat umum (ga umum juga sih). ini dia beberapa mimpi :
 Jangka pendek ini: 
1. ingin diberi kelancaran UAS hehe...
2. Diberi kesehatan terutama 3 bulan ini... (kegiatan tambah banyak)
3. Nilai UAS di atas KKM semua (amiiiiiiin)
4. Ga remed UAS... 
5. latihan dan segala persiapan KOA 9 lancaaaar 
6. 17 Juli 2011, KOA 9 lancar dan sukses (memuaskan sebagaimana keinginan dan sesuai dengan usaha kita dan kesungguhan kita, pokoknya cape nya kebayar deh)
7. Masuk kelas 11 bersama dengan anak-anak X IPA 1 (pengennya)
oke selarang jangka panjang: 
8. mendapat nilai yang memuaskan disetiap kenaikan kelas..
9. Lulus SMA dengan nilai memuaskan dan membahagiakan orang tua
10. Bisa masuk ITB (ga tau jurusan apa) lewat jalur undangan... (amiiin pisaaaan)
11. naik haji :)
12. Masuk surga dan bertemu dengan kawan-kawan semua... juga keluarga :) 
.... 
....
Sebetulnya masih sangaaaat banyak... tapi yang paling utama ya yang di atas. oh ya satu lagi yang aku bingung aku masih belum punya cita-cita ingin jadi apa. yang jelas dari dulu kalau sudah besar nanti aku ingin jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain (amin) entah itu jadi apa. 

ya sebetulnya ini geje sih. haha hanya untuk mengisi waktu saja (sembari tugas nungguin dibelakang).. ya udah lah ya... dadah (?) 
pokoknya sejauh apa mimpimu itu raih lah dengan seluruh usahamu dan juga kesungguhanmu. jangan lupa berdoa dan terus berikhtiar.. siapapun dirimu, dimanapun dirimu, apapun mimpimu, jika kau bersungguh-sungguh mimpi yang mungkin hanya sekedar khayalan bisa jadi kenyataan :D 


LEER MÁS...

Cerpen kemarin yang ku edit ulang...

| 0 komentar |

Ya... ini lah... cerpen 'coretan mimpi' yang atas berbagai komentar dan pertimbangan yang jauuuuuh dan matang. insya Allah lebih bagus... oh iya aku minta komentarnya ya kawan mana yang lebih bagus... hehehe


"CORETAN MIMPI" by: Afina Rahmani
   
Tinggal selangkah lagi, aku kan gapai mimpiku yang dari dulu kucita-citakan. Kini aku sedang mengepak semua barang-barangku bersiap untuk pergi meraih mimpiku itu. Kupandang sekeliling kamarku, semua barang sudah dipak, hanya tinggal lemari, tempat tidur, dan meja belajarku. Kudekati meja belajar itu, tergeletak sebuah buku biru lusuh, buku penuh kenangan. Kubuka halaman pertama buku itu, tertempel foto seorang gadis kecil dengan senyuman manis penuh impian. Aku sangat kenal gadis itu, ia adalah gadis penuh mimpi.
   Gadis itu bernama Vita. Anaknya lucu dan periang. Setiap hari selalu ia sambut dengan senyuman. "Vita, sudah jam setengah tujuh.. kalau tidak bangun sekarang nanti kamu telat pergi sekolah," kata ibu. "Ya bu, Vita sudah bangun kok!," teriak Vita dari kamarnya. Pagi ini cerah seperti biasanya, Vita bergegas membereskan buku dan mandi. Sarapan pagi ini berjalan seperti biasa, tapi ada satu sosok yang kurang di meja makan. "Mana ayah bu?," tanya Vita. "Ayah tadi pagi sekali sudah berangkat kerja sayang," kata ibu menjelaskan. "Yaah... jadi Vita ga bisa diantar ayah ke sekolah dong?," keluh Vita dengan muka lugunya. Ibu hanya tersenyum. Keluarga Vita bukanlah keluarga kaya. Ayahnya hanyalah seorang supir angkot. Ibunya juga hanya seorang penjual kue. Tapi Vita sangat bangga dengan kedua orang tuanya.
    Hari itu adalah hari pertama Vita di kelas 2 SD. Ia selalu bersemangat setiap harus berangkat ke sekolah. Tebak kenapa? Vita sangat senang berada dilingkungan yang ramai ,ia juga sangat rajin dalam belajar. Tapi ada satu yang paling ia tunggu disekolahnya.. Guru. Bagi Vita guru adalah pahlawan. Guru favorit di sekolahnya adalah Bu Tati. Beliau adalah guru yang sudah cukup berumur, tapi sangat ramah dan pengertian dengan setiap muridnya, terutama Vita yang selalu bersemangat di sekolah. 
      "Pagi anak-anak, hari ini kita akan bercerita tentang cita-cita kalian saat sudah besar nanti. Setelah menceritakannya di depan, kalian harus menuliskannya di kertas ya, siapa yang mau lebih dulu?" kata Bu Tati. Semua murid mengangkat tangan. Satu persatu murid maju kedepan menceritakan tentang cita-citanya masing-masing. Dokter, polisi, dokter, dokter, suster, dokter, pilot, pilot, pilot. Hampir seluruh murid mempunyai cita-cita serupa. Kini giliran Vita, "Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi Guru, karena bagiku guru adalah pahlawan tanpa pamrih yang paling banyak berjasa dalam hidup semua orang," jelas Vita. Seluruh kelas terdiam, bagi anak seumur Vita saat itu, guru bukanlah cita-cita yang terbayangkan, apalagi dengan alasan sebagus itu.
----------------------------------------------------------------------------- 
       Hari-hari Vita selalu dihiasi dengan keceriaannya. Sayangnya tak banyak orang yang mau berteman dengannya. Rata-rata teman di sekolahnya adalah anak dengan orang tua berkecukupan. Tapi Vita tak pernah malu dengan keadaan orang tuanya, ia tak keberatan tak punya banyak teman ketimbang harus kecewa dengan keadaan orang tuanya. Tak aneh kalau setiap waktu istirahat tiba, teman satu-satunya hanya lah Bu Tati. Beliau tak pernah keberatan membacakan buku cerita untuk Vita, beliau juga tak pernah menolak untuk mengantar Vita pulang ke rumahnya kalau hari hujan. Bu Tati tidak punya keluarga. Dalam usianya yang sudah cukup berumur, tak ada orang yang membantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Tak jarang Bu Tati terlihat lesu di sekolah, tapi beliau selalu menampakan wajah yang ceria di depan murid-muridnya. 
      Senyuman kini terlukis diwajahku mengingat sosok Bu Tati. Aku mengenalinya, sosok penuh wibawa dan luar biasa. Halaman demi halaman buku biru itu kubaca sambil terawa sendiri.. Vita berulang tahun yang ke-8, kulihat foto seorang gadis kecil bergaun merah jambu bersama dengan sosok luar biasa itu.. Ya, tak salah lagi itu adalah foto Vita dengan guru kesayangannya Bu Tati. Di hari istimewa itu, Ayah Vita sengaja mengadakan pesta ulang tahun untuk Vita. Ibu sengaja membuatkan gaun merah jambu sederhana untuk Vita pakai. Tak banyak yang datang ke pesta sederhana itu. Hanya 2 orang sepupunya dan 1 orang yang tak kunjung datang juga.. "Akan kah ia datang ibu?," tanya Vita tak sabar. "Pasti sayang, masa sih ia tak mau datang ke pesta ulang tahunmu?, mungkin ia sedang bingung memilih baju yang tepat untuk dikenakan ke pestamu ini," jawab ibu menghibur. Pesta sederhana itu tak juga dimulai. "Kita mulai saja sekarang ya sayang," kata ibu. "Nggak! pokoknya kalau belum datang Vita ga mau mulai," teriak Vita. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. “Asik-asik!!! Bu Tati datang! Bu Tati datang!!,” teriak Vita.
            Akhrinya pesta pun dimulai. “Ayo kita buka kadonya!,” kata ibu. Kado di hari ulang tahunnya ini tidak banyak seperti kado ulang tahun anak-anak kaya jaman sekarang, yang kalau merayakan pesta ulang tahun, kadonya bisa berpuluh-puluh. Dua, ya hanya dua kado. Tapi bagi Vita dua kado sudah cukup. Kado pertama yang ia buka adalah kado dari orang tuanya. Sebuah kamera sederhana dengan filmnya. “Kita gunakan bersama-sama ya nak,” kata ayah. Untuk Vita, yang masih berumur 8 tahuin itu bukan lah hal yang cukup menarik, tapi ia tahu itu adalah kado yang sangat berharga. Kado terakhirnya adalah kado dari Bu Tati, sebuah buku biru. "Buku cerita kah ini bu?, kok kosong?," tanya Vita. "Ya, bisa jadi ini adalah buku cerita yang sangat menarik," kata Bu Tati. "Tergantung apa yang akan kau tulis didalamnya. Buku ini adalah buku mimpi, jika kau menulis mimpi-mimpimu dibuku ini, maka kelak mimpimu itu akan tercapai,” tambah Bu Tati. Vita langsung bersemangat mendengar itu.
Setelah acara foto-foto, pesta pun selesai. Semua tamu sudah pulang, waktu juga telah menunjukan pukul 9 malam. Vita sudah berganti baju dan siap untuk tidur. “Vita, ayo masuk ke kamarmu, besok memang libur, tapi itu bukan alasanmu untuk tidur malam,” kata ibu. Vita pun berlari menuju kamar tidurnya. Ia tak langsung tidur, berkali-kali ia buka buku biru pemberian Bu Tati itu. Vita mengambil sebuah pulpen, lalu ia beri nama buku itu: “Coretan Mimpi. Punya Vita.” Dengan yakinnya ia goreskan tinta diatas lembaran buku itu. “Buku ini kan kujadikan buku tentang mimpi-mimpiku. Hai, buku jangan kau lupakan janjimu ya. Setiap impian yang kutuliskan harus kau kabulkan,” kata Vita dalam hati. Dengan semangat ia pun mulai menulis mimpi-mimpinya.
-----------------------------------------------------------------------
Buku biru itu pun penuh dengan berbagai impiannya. “Aku ingin mendapat nilai terbaik saat kululus nanti dari SD”, “Aku ingin mendapat teman yang banyak”, “Aku ingin kue buatan ibuku laku”, “Aku ingin ayah dapat pekerjaan yang lebih baik”, itu adalah sebagian dari mimpi-mimpinya yang kubaca di buku itu. Halaman demi halaman kubuka, tiba-tiba aku sampai pada halaman penuh tinta merah dan coretan-coretan. Di atasnya tertulis “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Tulisan-tulisan dengan tinta biru terhalang oleh coretan tinta merah. Ku perhatikan baik-baik halaman aneh itu.
----------------------------------------------------------------------------- 
Sejak hari ulang tahun Vita yang ke-8, Bu Tati jarang masuk kelas. Banyak kabar bilang, ia terkena penyakit, entah apa itu. Saat itu Vita berumur 11 tahun, ia telah menduduki bangku kelas 6. Pagi itu Vita duduk sendiri di teras kelasnya, menulis sesuatu di buku biru dengan semangatnya. “Hari ini akan kutunjukan mimpi-mimpiku di buku ini pada Bu Tati,” kata Vita dalam hati. Tak sabar ia menunggu bel pulang berbunyi. Ketika waktu pulang telah tiba, seluruh murid berlarian menuju gerbang sekolah, terkecuali Vita. Ia berlari menuju ruang guru, “Semoga hari ini ia masuk,” harap Vita dalam hati. “Bu, apa anda yakin, anda bisa menghadapi ini? Kami tidak yakin kau akan seproduktif dulu. Akhir-akhir ini anda jarang masuk kelas. Saya khawatir bu, apalagi anda sudah tak punya kerabat dekat lagi. Saya tunggu keputusan ibu besok ya,” kata seseorang di balik pintu ruang guru. Kepala sekolah keluar dari balik pintu itu, “Ada apa gerangan?,” tanya Vita.
“Siang bu,” Vita mengucapkan salam. Terlihat wajah lesu penuh dengan air mata. “Ada apa bu? Ibu masih sakit?,” tanya Vita. “Tidak Vita, ibu baik-baik saja kok. Ada apa kamu kemari?,” jawab Bu Tati sambil menghapus air mata dari wajahnya. “Ini bu, buku pemberian ibu waktu itu? masih ingat kan? Vita bingung bu, sudah berpuluh-puluh mimpi kutuliskan di buku ini, tapi belum satu pun terkabulkan,” keluh Vita. Bu Tati hanya terdiam dan tersenyum. “Buku itu menunggu waktu yang tepat untuk mengabulkannya. Saat kau sudah siap kau pasti akan meraih mimpi itu, asal kau mau berusaha dan bersabar,” kata Bu Tati. “Ya bu. Oh ya, ada satu mimpi besarku bu. Tapi belum saya tuliskan, saya takut mimpi itu tidak akan terkabulkan jika kutulis di buku ini,” kata Vita. “Apa itu?,” tanya Bu Tati penasaran melihat senyuman Vita. Tak sempat Vita mengucapkannya tiba-tiba Bu Tati terbatuk. Vita belum pernah melihat ini sebelumnya, darah... ya, tak salah lagi itu darah. “Ibu kenapa?,” tanya Vita khawatir. Bu Tati tidak menjawab dan berlari menuju toilet. Apa itu tadi?
Mulai dari kejadian itu, Bu Tati di kabarkan keluar dari sekolah ini dan tidak akan mengajar lagi. Vita yang hampir menyelesaikan sekolah tingkat dasarnya seperti hilang harapan. Esok adalah hari kelulusannya, ia dapat peringkat 10, tak seperti yang ia harapkan, tak seperti yang ia tulis dalam buku itu. Malam itu, ia baca seluruh mimpi-mimpinya dalam buku itu, tak ada satupun yang tercapai. “Aku sudah berusaha, sudah bersabar, sudah berdoa. Apa lagi yang kau minta hai buku? Apa?,” kata Vita dalam hati. Ia buka halaman satu persatu, ia baca sebuah tulisan dalam buku itu, yang pernah ia tulis dan ia anggap sebagai mimpi besarnya. Setetes air mata jatuh ke atas lembaran itu. “Di mana kau sekarang bu?,” Vita bertanya dalam hatinya. Seperti hilang harapan, tanpa sadar ia goreskan tinta merah dalam buku itu “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Ia robek satu lembar dari buku itu. 
----------------------------------------------------------------------------- 
Tak pernah ia tulis mimpi-mimpi lainnya di buku biru itu lagi. Saat Vita sudah menduduki bangku SMP, tiba-tiba ia dapat berita baik, “Vita!, tunggu!,” panggil seorang anak laki-laki sebayanya. Vita berhenti dan berbalik, ya, ia adalah salah satu murid di SMP itu, --entah siapa namanya, tak ia tulisakan di buku ini-- “Aku punya berita, ini aku kemarin dapat alamat tempat Bu Tati tinggal,” kata laki-laki itu. Vita hanya terdiam, ia belum pernah diajak berbicara dengan satu pun anak sebayanya. “Mungkin besok aku bisa mengantarkanmu ke tempat ini,” anak laki-laki itu menawarkan. Seakan mimpinya terwujud, ia dapat teman sekaligus informasi tentang di mana ia bisa bertemu guru kesayangannya itu.
Seperti janji anak itu menjemput Vita. Ia sepertinya orang kaya, “Hai Vit, ayo naik. Ngga usah malu-malu. Supirku dengan senang hati mau membantu kita mencari alamat ini,” kata anak itu. Alamatnya memang asing dan memang setelah di telusuri rumah itu sangat jauh dari rumah Vita, apa lagi dari sekolahnya. Tak terbayangkan betapa jauhnya perjalanan Bu Tati ke sekolah setiap harinya. Vita ingat, beliau adalah guru terdisiplin, ia tak pernah telat. ‘Tok tok tok’, “Assalamualaikum, Bu Tati?,” kata anak laki-laki itu. Tak ada jawaban, rumah itu sepertinya sangat sepi. Tiba-tiba seseorang menegur dari sebelah rumah itu, “Nyari siapa nak?” “Kami sedang mencari guru kami bu, namanya Bu Tati, mungkin ibu kenal?,” tanya Vita. Tiba-tiba raut wajah orang itu berubah. Ia keluar dari pagar rumahnya dan mengajak kami masuk ke rumahnya.
“Begini nak, rasanya tak enak kalau harus bicara di luar,” kata ibu itu. “Memangnya kenapa bu?,” tanya Vita. “Begini, saya ini temannya Bu Tati dari sejak kecil, rumah kami bersebelahan, ya seperti yang kalian lihat sekarang. Ia dulu adalah anak periang, tapi sejak kematian ibu, ayah, dan adiknya dalam kecelakaan, ia tak pernah mau bermain lagi dengan saya. Sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah sekolah sebagai guru. Entah berapa tahun yang lalu, setelah lama bekerja di sana, ia kembali terlihat ceria seperti dulu. Ia mulai mau berteman dengan saya lagi. Terkenal dengan keramahannya, semua orang di sini selalu membantunya. Tapi baru beberapa minggu yang lalu...,” tiba-tiba ibu itu berhenti dan menundukan kepalanya serta menutup wajahnya dengan tangannya. “Tapi kenapa bu?,” tanya Vita heran. “Ia jatuh sakit. Sudah terlalu parah untuk diobati, tapi ia tetap saja tak mau dirawat di rumah sakit atau dibawa ke dokter...,” ibu itu berhenti lagi.
“Lalu bu? Dimana ia sekarang? Di rumah ini kan bu?, atau ada di rumahnya? Beri tahu aku sekarang bu, aku tak perlu mendengar cerita lainnya, aku hanya ingin tahu dimana ia sekarang?,” jelas Vita. Perasaan takut tiba-tiba menutupi hatinya. Wajah ibu-ibu itu kini penuh pertanyaan, “Vita kah namamu nak?,” tanya ibu itu. “Ya,” jawab Vita heran. Ibu itu berdiri. Wajahnya penuh dengan kebingungan. “Maaf, aku tak tahu apapun tentang Bu Tati sekarang,” kata ibu itu. Kini perasaan Vita berubah menjadi keheranan. Mereka pun pulang dengan perasaan kecewa. Vita diantar pulang sampai rumah oleh teman barunya itu, “Maaf ya Vit, aku tak bisa mempertemukanmu dengan Bu Tati,” kata anak laki-laki itu. “Ngga apa-apa. Oh ya, dari mana kau kenal Bu Tati?,” tanya Vita. “Suatu hari nanti kau akan tahu itu, oh ya, aku yakin Bu Tati orang yang baik, jadi tolong jangan berhenti bermimpi,” kata anak laki-laki itu, ia pun pergi dengan mobilnya meninggalkan Vita dengan sejuta pertanyaan dalam pikirannya.
----------------------------------------------------------------------------- 
            Kini aku termenung menatap buku itu. Robekan itu masih ada, tepat satu halaman sebelum coretan merah itu. “Tulisan apa ya yang ada dirobekan itu?,” tanyaku penasaran. “Rion!!, sudah selesaikan? Ayo bantu ibu memindahkan barang-barangmu ini ke dalam mobil,” panggil ibu dari bawah. Kututup buku itu dan menyimpannya dalam tas ranselku. Aku pun turun, ‘Ting tong’ terdengar suara bel. “Aku saja yang buka pak,” kataku pada supirku. Ketika aku sampai di gerbang depan tak ada siapa pun. “Apa sih maunya? Pasti anak-anak iseng lagi,” kataku menggerutu. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jambu tergeletak di bawah gerbang rumahku. Aku ambil amplop itu. Tiba-tiba ingatanku kembali pada seorang perempuan manis dengan sejuta mimpinya itu. “Vita,” kataku teringat pada gadis manis itu. Kubuka ranselku dan mengambil buku biru itu.  “Vit, apa sih alasan kamu ngasih buku ini ke aku?,” tanyaku dalam hati. “Rion, ada tamu ya?,” tanya ibu sambil membawa beberapa tasku. Lamunanku tentang gadis itu pun buyar, “ngga ada bu, kayaknya anak-anak iseng deh,” kataku sambil kembali membantu ibuku memasukan tas-tasku ke bagasi mobil.
            Semua sudah beres, saatnya aku untuk pergi meraih mimpiku itu. “Ayo pak, ke bandara, cepat ya nanti ketinggalan pesawat,” kata ibu pada supirku. Mobilku pun melaju, aku kembali termenung, kubuka amplop merah jambu misterius yang kutemukan di depan gerbang itu. Sebuah surat, kubaca surat itu:
“Assalamualaikum, hai Vita. Apa kabarmu nak? Rindu ibu pada setiap keceriaan dan senyumanmu di kelas. Maaf ibu tak bisa menemuimu lagi. Ibu titipkan surat ini pada sahabat ibu yang paling bisa ibu percaya. Ibu tak bisa meneruskan mengajar di sekolah itu lagi nak. Sakit yang diderita ibu terlalu berat. Maaf kan ibu ya nak, ibu janji jika ibu sembuh nanti ibu akan menemuimu nak, entah bagaimana caranya. Ingat, raih lah mimpimu dengan segala usaha dan doa bukan karena buku. Buku hanyalah tempat kita menuliskannya saja. Terwujud atau tidak terwujud mimpi itu tergantung pada kesungguhan diri kita meraih mimpi itu. Jika waktunya telah tiba, mimpi akan datang kepadamu ketika kau telah berusaha. Ingat janjimu ya nak, raih mimpimu setinggi langit! Ibu sayang kau. Kalau kau mau tahu, adik ibu dulu sangat mirip denganmu. Ia juga punya banyak mimpi sepertimu. Maaf ibu mungkin sekarang tak bisa bertemu denganmu. Ingat pesan ibu, kau masih punya banyak waktu untuk menggapai mimpimu. Ingat itu. Peluk, cium hangat Ibu Tati.”
            Aku terpaku. “Kenapa amplop ini bisa ada dirumahku?,” tanyaku bingung. Kukeluarkan buku biru itu dari dalam ranselku dan aku pun mulai membacanya lagi. “Hari ini aku dapat kawan baru, seperti mimpiku, tulis Vita dalam buku itu, “ Dia anak yang sangat baik. Aku tahu dia adalah orang berkecukupan, pernah sekali aku berkunjung ke rumahnya. Rumahnya besaaaar sekali. Walaupun dia orang yang kaya, ia mau berteman denganku. Senangnya! Satu mimpiku tercapai. Aku akan berusaha jadi orang yang peduli dengan sekitarku agar dapat teman lebih banyak lagi.” Seiring berjalannya waktu satu demi satu mimpi Vita terwujud. Dengan usaha gigihnya ia pun mendapat nilai terbaik di kelas. Ia juga punya banyak teman.
Tapi sepertinya itu tak berjalan lama, “Hari ini aku harus pergi ke dokter. Kata ibu kemarin aku mimisan dan langsung pingsan. Aku mungkin kecapean. Sahabatku juga ikut mengantarku ke dokter.” Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi aku lihat ibu menangis, apa yang terjadi?,” tulis Vita dalam buku itu. Aku terdiam seaat mengingat hari itu. Saat itu Vita menangis seharian, “Aku ingin pulang,” kata Vita pada orang tuanya. Ya, memang ia langsung pulang hari itu. Tapi ia tak pernah masuk sekolah sejak saat itu. “Hari ini ia datang menjengukku! Aku senang sekali,” tulis Vita. Vita tertidur lemas di kamarnya. Sahabatnya itu selalu menemani Vita. Ia lah yang menghibur Vita dan membuat Vita selalu tersenyum, “Kau akan baik-baik saja,” itu lah kata-kata yang sering diucapkannya untuk menghibur Vita.
Vita terkena kanker darah. Karena orang tuanya tak sanggup bayar terapi, ia tak pernah menjalankan pengobatan seperti pengidap penyakit kanker lainnya. Hingga suatu saat ia harus menginap di rumah sakit. “Ya Allah, ini kah kesempatan terakhirku untuk bermimpi. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Aku belum jadi guru seperti Bu Tati. Aku belum membuat bahagia orang tuaku. Masih banyak yang inginku lakukan,” tulis Vita dalam bukunya. Halaman selanjutnya kosong tak ada tulisan lagi. Kututup buku itu.
Aku termenung, menatap jendela luar mobil. “Macet,” kataku dalam hati. Kulihat wajah ibu yang mulai gelisah. “Tenang bu, ngga bakal telat kok,” kataku. Aku seakan sudah tak memikirkan soal pesawatku yang mungkin sebentar lagi akan terbang meninggalkanku. Dalam pikiranku kini hanya tertulis nama sahabat yang sudah lama tak kutemui. Aku sangat bangga punya teman sepertinya. Ia lah yang mengajarkanku untuk bermimpi. “Mimpi itu adalah salah satu cara kau mengatur jalan mimpimu,” kata Vita. Ya, Vita lah sahabatku itu. Vita sangat percaya padaku, ia bahkan memberitahukan segala mimpinya padaku. Aku lah yang menemaninya saat mencari Bu Tati dan menemaninya saat ia sakit. Jujur, dulu aku adalah anak pemalu. Sejak kelas 1 SD aku sekelas dengan Vita. Aku tak pernah mempunyai teman karena sifatku ini. Hingga aku kenal dengan anak seberani dan periang seperti Vita. Aku kagum dengannya, aku ingin punya teman seperti Vita. Jalanku untuk lebih mengenal Vita terbuka setelah Ibu Tati datang. Beliau lah yang telah diam-diam mengajariku untuk berani. “Laki-laki itu harus berani! Masa loyo kayak gini?,” kata Bu Tati waktu itu. Itu lah akhir dari sifat pemaluku.
Saat itu aku menjenguknya di rumah sakit. “Hai Vit, sudah baikan? Tadi UN sudah selesai. Soalnya mudah loh, aku yakin kamu juga bisa mengerjakannya,” kataku pada Vita. Vita hanya tersenyum saat itu. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Rion, ini kutitipkan padamu, ini adalah buku mimpi. Jika kau menuliskan mimpimu di dalamnya, maka kelak mimpimu akan tercapai,” kata Vita sambil memberikan buku biru lusuh itu padaku.
Sejak saat itu lah aku tak pernah bertemu dengan Vita. Tiga tahun sudah berlalu sejak hari itu. Aku tersenyum mengingat hari-hariku bersama sahabatku. Aku membuka buku itu lagi. Aku seharusnya menuliskan mimpiku di buku ini seperti kata Vita. Tak sengaja halaman terakhir buku itu terbuka, terdapat tulisan di halaman itu yang belum sempat kubaca:
Rion, terimakasih kau telah menjadi sahabatku. Mimpi terbesarku adalah menjadi guru. Tapi kini aku sadar, mimpi terbesarku bukan itu. Tapi aku ingin bisa melakukan banyak hal bersamamu. Tak ku sadari... aku ingin terus bersamamu meraih mimpi bersama. Namun sepertinya tak ada lagi harapan, aku dengar bahwa aku terkena kanker darah tingkat lanjut. Hanya 3-80% orang saja yang bisa sembuh dari penyakit ini. Itu juga yang secara rutin menjalankan terapi. Aku minta maaf selalu menolak bantuan dari ibumu. Tapi mungkin ini memang takdir Allah. Mimpiku masih banyak. Kau lihatkan ada robekan kertas di tengah-tengah buku ini? Itu adalah mimpi terbesarku. Tentu saja menjadi guru seperti yang pernah kuceritakan padamu. Kau tahu, mimpiku menjadi guru mungkin belum tercapai. Tapi aku yakin suatu saat mimpi itu akan tercapai. Aku tahu kau selalu bilang aku akan sembuh dan aku tahu aku bisa sembuh dari penyakit ini. Rasanya senang bila bisa kembali masuk sekolah dan bermain bersamamu lagi. Buku ini kuberikan padamu untuk kau lanjutkan. Tulis mimpi-mimpimu di atasnya dan perlihatkan padaku saat aku sudah sembuh nanti. Kau harus janji!”
Setetes air mata jatuh dari pipiku. Andaikan itu terjadi. Aku tahu sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku terlalu sibuk mengejar mimpiku untuk dapat belajar di luar negeri. Seperti yang sering Vita katakan, aku harus serius dalam mengejar mimpi. Aku tahu Vita telah menitipkan sejuta mimpinya yang tertulis di buku itu untukku. Dan aku berjanji untuk melanjutkannya.
Aku terbangun dari lamunanku, kini aku telah sampai di bandara. Semua koperku sudah diangkut menuju kabin pesawat. Aku berpamitan dengan ibuku. “Titip salamku pada ayah ya bu,” kataku. Aku memeluk ibuku. Seorang pramugari menunjukkan kursi dimana aku harus duduk selama 8 jam. Jerman, ya, Jerman adalah negara tujuanku. Di sanalah nanti aku akan melanjutkan sekolahku. Aku kembali membuka amplop merah jambu misterius itu. Ternyata masih ada satu kertas lagi. Tapi yang satu ini bukan lah surat. Tapi sebuah kertas kecil dengan pesan di atasnya:
Hai anak muda. Lama tak bertemu, bersama pesan ini aku sampaikan bahwa Bu Tati sudah tiada sejak satu tahun yang lalu. Sebenarnya aku hendak memberi tahukannya pada Vita, temanmu itu. Tapi sepertinya ia sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Jadi aku pergi mencari alamatmu. Surat yang satunya lagi adalah surat Bu Tati untuk Vita. Sudah lama ia tulis surat itu. Sebelum beliau meninggal, ia titipkan ini padaku. Maaf saat itu aku berbohong. Bu Tati sebenarnya dirawat di suatu rumah sakit. Tapi ia sempat melarangku untuk memberitahukannya pada anak yang bernama Vita. Ia takut hal itu akan menghambat mimpinya. Kutitip surat ini padamu ya, Dian, sahabat Bu Tati.”
Aku menutup amplop itu dan memasukkannya ke dalam ranselku. Andai Vita tahu isi surat ini, andai aku bisa menyampaikannya pada Vita. Waktunya pesawat terbang, seluruh penumpang telah memasang sabuk pengamannya. Lagi-lagi lamunanku buyar. Dengan segera aku pakai sabuk pengamanku. Aku menatap keluar jendela pesawat. Aku sudah terbang menggapai mimpiku sekarang. Kuambil sebuah pena dari tasku. “ Vita, kini semuanya terlihat jelas. Aku sekarang mengerti apa yang disebut mimpi. Ya, sesuai janjiku aku akan menuliskan mimpiku dalam buku ini. Vita, mungkin kau kira kau belum menggapai mimpimu itu. Tapi bagiku, kau telah meraih mimpi itu dengan mengajarkan banyak hal kepadaku tentang mimpi. Kau sudah menjadi guru untukku, kau lah yang mengajarkanku untuk dapat bermimpi dan menjadi anak yang lebih berani.  Aku janji, kuakan meneruskan episode-episode dalam menggapai mimpi-mimpi itu. Mungkin mimpiku adalah melanjutkan sekolah ke luar negeri. Tapi aku sadar, masih banyak mimpi yang ingin kugapai hingga suatu hari nanti kau tahu bahwa mimpi terbesarku adalah bertemu dengan sahabat terbaikku dan berkata ‘kau lah mimpi terbesarku’... “
-------------------------------------------------------------------------------
Tak terasa 8 jam berlalu. Aku sampai di salah satu bandara Jerman. Rasanya seperti orang asing di sini. Kanan-kiri kutengok semuanya sama saja, orang-orang berkulit putih menatapku heran. Tanpa rasa malu aku langsung berjalan menuju loket migrasi untuk cek paspor. “Vita Nur Amalia?,” tanya salah satu penjaga loket dengan logat bulenya. “From Indoneisa? Right?,” tanyanya lagi. “Yes,” kata seorang perempuan remaja tepat satu orang di depan antrianku. Aku berusaha untuk dapat melihat wajah perempuan itu. “Your reason here?,” tanya penjaga loket itu. “To take some medical therapy,” jawabnya. Remaja itu menggunakan kursi roda. Seorang perempuan setengah baya mendampinginya. “Ok, get well soon,” kata penjaga itu sambil mengecap paspor milik remaja itu. Ketika remaja itu berbalik dan melewatiku, mataku bagaikan terbohongi oleh kenyataan. Tak salah lihat kah aku? Perempuan itu sepertinya merasakan hal yang sama. Ia memberhentikan kursi rodanya dan berbalik. Sebuah senyuman manis tergambar diwajahnya, senyuman yang selama ini kunantikan, yang selama ini kurindukan. Ya, tak salah lagi, ia lah mimpi terbesarku, Vita, gadis sejuta mimpi.   


Bagusan yang mana? hehe minta komentarnya kawan!!

LEER MÁS...

Full Version ( Coretan Mimpi)

| 0 komentar |

"CORETAN MIMPI" by: Afina Rahmani 
    Tinggal selangkah lagi, aku kan gapai mimpiku yang dari dulu kucita-citakan. Kini aku sedang mengepak semua barang-barangku bersiap untuk pergi meraih mimpiku itu. Kupandang sekeliling kamarku, semua barang sudah dipak, hanya tinggal lemari, tempat tidur, dan meja belajarku. Kudekati meja belajar itu, tergeletak sebuah buku biru lusuh, buku penuh kenangan. Kubuka halaman pertama buku itu, tertempel foto seorang gadis kecil dengan senyuman manis penuh impian. Aku sangat kenal gadis itu, ia adalah gadis penuh mimpi.
  
   Gadis itu bernama Vita. Anaknya lucu dan periang. Setiap hari selalu ia sambut dengan senyuman. "Vita, sudah jam setengah tujuh.. kalau tidak bangun sekarang nanti kamu telat pergi sekolah," kata ibu. "Ya bu, Vita sudah bangun kok!," teriak Vita dari kamarnya. Pagi ini cerah seperti biasanya, Vita bergegas membereskan buku dan mandi. Sarapan pagi ini berjalan seperti biasa, tapi ada satu sosok yang kurang di meja makan. "Mana ayah bu?," tanya Vita. "Ayah tadi pagi sekali sudah berangkat kerja sayang," kata ibu menjelaskan. "Yaah... jadi Vita ga bisa diantar ayah ke sekolah dong?," keluh Vita dengan muka lugunya. Ibu hanya tersenyum. Keluarga Vita bukanlah keluarga kaya. Ayahnya hanyalah seorang supir angkot. Ibunya juga hanya seorang penjual kue. Tapi Vita sangat bangga dengan kedua orang tuanya.
    
   Hari itu adalah hari pertama Vita di kelas 2 SD. Ia selalu bersemangat setiap harus berangkat ke sekolah. Tebak kenapa? Vita sangat senang berada dilingkungan yang ramai ,ia juga sangat rajin dalam belajar. Tapi ada satu yang paling ia tunggu disekolahnya.. Guru. Bagi Vita guru adalah pahlawan. Guru favorit di sekolahnya adalah Bu Tati. Beliau adalah guru yang sudah cukup berumur, tapi sangat ramah dan pengertian dengan setiap muridnya, terutama Vita yang selalu bersemangat di sekolah.

      "Pagi anak-anak, hari ini kita akan bercerita tentang cita-cita kalian saat sudah besar nanti. Setelah menceritakannya di depan, kalian harus menuliskannya di kertas ya, siapa yang mau lebih dulu?" kata Bu Tati. Semua murid mengangkat tangan. Satu persatu murid maju kedepan menceritakan tentang cita-citanya masing-masing. Dokter, polisi, dokter, dokter, suster, dokter, pilot, pilot, pilot. Hampir seluruh murid mempunyai cita-cita serupa. Kini giliran Vita, "Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi Guru, karena bagiku guru adalah pahlawan tanpa pamrih yang paling banyak berjasa dalam hidup semua orang," jelas Vita. Seluruh kelas terdiam, bagi anak seumur Vita saat itu, guru bukanlah cita-cita yang terbayangkan, apalagi dengan alasan sebagus itu.

----------------------------------------------------------------------------- 

       Hari-hari Vita selalu dihiasi dengan keceriaannya. Sayangnya tak banyak orang yang mau berteman dengannya. Rata-rata teman di sekolahnya adalah anak dengan orang tua berkecukupan. Tapi Vita tak pernah malu dengan keadaan orang tuanya, ia tak keberatan tak punya banyak teman ketimbang harus kecewa dengan keadaan orang tuanya. Tak aneh kalau setiap waktu istirahat tiba, teman satu-satunya hanya lah Bu Tati. Beliau tak pernah keberatan membacakan buku cerita untuk Vita, beliau juga tak pernah menolak untuk mengantar Vita pulang ke rumahnya kalau hari hujan. Bu Tati tidak punya keluarga. Dalam usianya yang sudah cukup berumur, tak ada orang yang membantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Tak jarang Bu Tati terlihat lesu di sekolah, tapi beliau selalu menampakan wajah yang ceria di depan murid-muridnya. 

      Senyuman kini terlukis diwajahku mengingat sosok Bu Tati. Aku mengenalinya, sosok penuh wibawa dan luar biasa. Halaman demi halaman buku biru itu kubaca sambil terawa sendiri.. Vita berulang tahun yang ke-8, kulihat foto seorang gadis kecil bergaun merah jambu bersama dengan sosok luar biasa itu.. Ya, tak salah lagi itu adalah foto Vita dengan guru kesayangannya Bu Tati. Di hari istimewa itu, Ayah Vita sengaja mengadakan pesta ulang tahun untuk Vita. Ibu sengaja membuatkan gaun merah jambu sederhana untuk Vita pakai. Tak banyak yang datang ke pesta sederhana itu. Hanya 2 orang sepupunya dan 1 orang yang tak kunjung datang juga.. "Akan kah ia datang ibu?," tanya Vita tak sabar. "Pasti sayang, masa sih ia tak mau datang ke pesta ulang tahunmu?, mungkin ia sedang bingung memilih baju yang tepat untuk dikenakan ke pestamu ini," jawab ibu menghibur. Pesta sederhana itu tak juga dimulai. "Kita mulai saja sekarang ya sayang," kata ibu. "Nggak! pokoknya kalau belum datang Vita ga mau mulai," teriak Vita. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. “Asik-asik!!! Bu Tati datang! Bu Tati datang!!,” teriak Vita. 

            Akhrinya pesta pun dimulai. “Ayo kita buka kadonya!,” kata ibu. Kado di hari ulang tahunnya ini tidak banyak seperti kado ulang tahun anak-anak kaya jaman sekarang, yang kalau merayakan pesta ulang tahun, kadonya bisa berpuluh-puluh. Dua, ya hanya dua kado. Tapi bagi Vita dua kado sudah cukup. Kado pertama yang ia buka adalah kado dari orang tuanya. Sebuah kamera sederhana dengan filmnya. “Kita gunakan bersama-sama ya nak,” kata ayah. Untuk Vita, yang masih berumur 8 tahuin itu bukan lah hal yang cukup menarik, tapi ia tahu itu adalah kado yang sangat berharga. Kado terakhirnya adalah kado dari Bu Tati, sebuah buku biru. "Buku cerita kah ini bu?, kok kosong?," tanya Vita. "Ya, bisa jadi ini adalah buku cerita yang sangat menarik," kata Bu Tati. "Tergantung apa yang akan kau tulis didalamnya. Buku ini adalah buku mimpi, jika kau menulis mimpi-mimpimu dibuku ini, maka kelak mimpimu itu akan tercapai,” tambah Bu Tati. Vita langsung bersemangat mendengar itu. 

Setelah acara foto-foto, pesta pun selesai. Semua tamu sudah pulang, waktu juga telah menunjukan pukul 9 malam. Vita sudah berganti baju dan siap untuk tidur. “Vita, ayo masuk ke kamarmu, besok memang libur, tapi itu bukan alasanmu untuk tidur malam,” kata ibu. Vita pun berlari menuju kamar tidurnya. Ia tak langsung tidur, berkali-kali ia buka buku biru pemberian Bu Tati itu. Vita mengambil sebuah pulpen, lalu ia beri nama buku itu: “Coretan Mimpi. Punya Vita.” Dengan yakinnya ia goreskan tinta diatas lembaran buku itu. “Buku ini kan kujadikan buku tentang mimpi-mimpiku. Hai, buku jangan kau lupakan janjimu ya. Setiap impian yang kutuliskan harus kau kabulkan,” kata Vita dalam hati. Dengan semangat ia pun mulai menulis mimpi-mimpinya. 

-----------------------------------------------------------------------

Buku biru itu pun penuh dengan berbagai impiannya. “Aku ingin mendapat nilai terbaik saat kululus nanti dari SD”, “Aku ingin mendapat teman yang banyak”, “Aku ingin kue buatan ibuku laku”, “Aku ingin ayah dapat pekerjaan yang lebih baik”, itu adalah sebagian dari mimpi-mimpinya yang kubaca di buku itu. Halaman demi halaman kubuka, tiba-tiba aku sampai pada halaman penuh tinta merah dan coretan-coretan. Di atasnya tertulis “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Tulisan-tulisan dengan tinta biru terhalang oleh coretan tinta merah. Ku perhatikan baik-baik halaman aneh itu. 

----------------------------------------------------------------------------- 

Sejak hari ulang tahun Vita yang ke-8, Bu Tati jarang masuk kelas. Banyak kabar bilang, ia terkena penyakit, entah apa itu. Saat itu Vita berumur 11 tahun, ia telah menduduki bangku kelas 6. Pagi itu Vita duduk sendiri di teras kelasnya, menulis sesuatu di buku biru dengan semangatnya. “Hari ini akan kutunjukan mimpi-mimpiku di buku ini pada Bu Tati,” kata Vita dalam hati. Tak sabar ia menunggu bel pulang berbunyi. Ketika waktu pulang telah tiba, seluruh murid berlarian menuju gerbang sekolah, terkecuali Vita. Ia berlari menuju ruang guru, “Semoga hari ini ia masuk,” harap Vita dalam hati. “Bu, apa anda yakin, anda bisa menghadapi ini? Kami tidak yakin kau akan seproduktif dulu. Akhir-akhir ini anda jarang masuk kelas. Saya khawatir bu, apalagi anda sudah tak punya kerabat dekat lagi. Saya tunggu keputusan ibu besok ya,” kata seseorang di balik pintu ruang guru. Kepala sekolah keluar dari balik pintu itu, “Ada apa gerangan?,” tanya Vita. 

“Siang bu,” Vita mengucapkan salam. Terlihat wajah lesu penuh dengan air mata. “Ada apa bu? Ibu masih sakit?,” tanya Vita. “Tidak Vita, ibu baik-baik saja kok. Ada apa kamu kemari?,” jawab Bu Tati sambil menghapus air mata dari wajahnya. “Ini bu, buku pemberian ibu waktu itu? masih ingat kan? Vita bingung bu, sudah berpuluh-puluh mimpi kutuliskan di buku ini, tapi belum satu pun terkabulkan,” keluh Vita. Bu Tati hanya terdiam dan tersenyum. “Buku itu menunggu waktu yang tepat untuk mengabulkannya. Saat kau sudah siap kau pasti akan meraih mimpi itu, asal kau mau berusaha dan bersabar,” kata Bu Tati. “Ya bu. Oh ya, ada satu mimpi besarku bu. Tapi belum saya tuliskan, saya takut mimpi itu tidak akan terkabulkan jika kutulis di buku ini,” kata Vita. “Apa itu?,” tanya Bu Tati penasaran melihat senyuman Vita. Tak sempat Vita mengucapkannya tiba-tiba Bu Tati terbatuk. Vita belum pernah melihat ini sebelumnya, darah... ya, tak salah lagi itu darah. “Ibu kenapa?,” tanya Vita khawatir. Bu Tati tidak menjawab dan berlari menuju toilet. Apa itu tadi?

Mulai dari kejadian itu, Bu Tati di kabarkan keluar dari sekolah ini dan tidak akan mengajar lagi. Vita yang hampir menyelesaikan sekolah tingkat dasarnya seperti hilang harapan. Esok adalah hari kelulusannya, ia dapat peringkat 10, tak seperti yang ia harapkan, tak seperti yang ia tulis dalam buku itu. Malam itu, ia baca seluruh mimpi-mimpinya dalam buku itu, tak ada satupun yang tercapai. “Aku sudah berusaha, sudah bersabar, sudah berdoa. Apa lagi yang kau minta hai buku? Apa?,” kata Vita dalam hati. Ia buka halaman satu persatu, ia baca sebuah tulisan dalam buku itu, yang pernah ia tulis dan ia anggap sebagai mimpi besarnya. Setetes air mata jatuh ke atas lembaran itu. “Di mana kau sekarang bu?,” Vita bertanya dalam hatinya. Seperti hilang harapan, tanpa sadar ia goreskan tinta merah dalam buku itu “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Ia robek satu lembar dari buku itu.  

----------------------------------------------------------------------------- 

Tak pernah ia tulis mimpi-mimpi lainnya di buku biru itu lagi. Saat Vita sudah menduduki bangku SMP, tiba-tiba ia dapat berita baik, “Vita!, tunggu!,” panggil seorang anak laki-laki sebayanya. Vita berhenti dan berbalik, ya, ia adalah salah satu murid di SMP itu, --entah siapa namanya, tak ia tulisakan di buku ini-- “Aku punya berita, ini aku kemarin dapat alamat tempat Bu Tati tinggal,” kata laki-laki itu. Vita hanya terdiam, ia belum pernah diajak berbicara dengan satu pun anak sebayanya. “Mungkin besok aku bisa mengantarkanmu ke tempat ini,” anak laki-laki itu menawarkan. Seakan mimpinya terwujud, ia dapat teman sekaligus informasi tentang di mana ia bisa bertemu guru kesayangannya itu. 

Seperti janji anak itu menjemput Vita. Ia sepertinya orang kaya, “Hai Vit, ayo naik. Ngga usah malu-malu. Supirku dengan senang hati mau membantu kita mencari alamat ini,” kata anak itu. Alamatnya memang asing dan memang setelah di telusuri rumah itu sangat jauh dari rumah Vita, apa lagi dari sekolahnya. Tak terbayangkan betapa jauhnya perjalanan Bu Tati ke sekolah setiap harinya. Vita ingat, beliau adalah guru terdisiplin, ia tak pernah telat. ‘Tok tok tok’, “Assalamualaikum, Bu Tati?,” kata anak laki-laki itu. Tak ada jawaban, rumah itu sepertinya sangat sepi. Tiba-tiba seseorang menegur dari sebelah rumah itu, “Nyari siapa nak?” “Kami sedang mencari guru kami bu, namanya Bu Tati, mungkin ibu kenal?,” tanya Vita. Tiba-tiba raut wajah orang itu berubah. Ia keluar dari pagar rumahnya dan mengajak kami masuk kerumahnya. 

“Begini nak, rasanya tak enak kalau harus bicara di luar,” kata ibu itu. “Memangnya kenapa bu?,” tanya Vita. “Begini, saya ini temannya Bu Tati dari sejak kecil, rumah kami bersebelahan, ya seperti yang kalian lihat sekarang. Ia dulu adalah anak periang, tapi sejak kematian ibu, ayah, dan adiknya dalam kecelakaan, ia tak pernah mau bermain lagi dengan saya. Sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah sekolah sebagai guru. Entah berapa tahun yang lalu, setelah lama bekerja disana, ia kembali terlihat ceria seperti dulu. Ia mulai mau berteman dengan saya lagi. Terkenal dengan keramahannya, semua orang di sini selalu membantunya. Tapi baru beberapa minggu yang lalu...,” tiba-tiba ibu itu berhenti dan menundukan kepalanya serta menutup wajahnya dengan tangannya. “Tapi kenapa bu?,” tanya Vita heran. “Ia jatuh sakit. Sudah terlalu parah untuk diobati, tapi ia tetap saja tak mau dirawat di rumah sakit atau dibawa ke dokter...,” ibu itu berhenti lagi. 

“Lalu bu? Dimana ia sekarang? Di rumah ini kan bu?, atau ada di rumahnya? Beri tahu aku sekarang bu, aku tak perlu mendengar cerita lainnya, aku hanya ingin tahu dimana ia sekarang?,” jelas Vita. Perasaan takut tiba-tiba menutupi hatinya. Wajah ibu-ibu itu kini penuh pertanyaan, “Vita kah namamu nak?,” tanya ibu itu. “Ya,” jawab Vita heran. Ibu itu berdiri meninggalkan mereka dan pergi membawa sebuah amplop berwarna merah jambu. “Maaf, aku tak sanggup mengatakannya. Vita, ini sebuah surat untukmu dari Bu Tati. Ia menitipkannya padaku sebelum ia pergi,” kata ibu itu. Kini perasaan Vita berubah menjadi keheranan. Mereka pun pulang. Vita diantar pulang sampai rumah olah teman barunya itu, “Maaf ya Vit, aku tak bisa mempertemukanmu dengan Bu Tati,” kata anak laki-laki itu. “Ngga apa-apa. Oh ya, dari mana kau kenal Bu Tati?,” tanya Vita. “Suatu hari nanti kau akan tahu itu,” kata anak laki-laki itu, ia pun pergi dengan mobilnya meninggalkan Vita dengan sejuta pertanyaan dalam pikirannya. 

----------------------------------------------------------------------------- 

            Kini aku termenung menatap buku itu. Robekan itu masih ada, tepat satu halaman sebelum coretan merah itu. “Tulisan apa ya yang ada dirobekan itu?,” tanyaku penasaran. “Rion!!, sudah selesaikan? Ayo bantu ibu memindahkan barang-barangmu ini ke dalam mobil,” panggil ibu dari bawah. Kututup buku itu dan menyimpannya dalam tas ranselku. Aku pun turun, ‘Ting tong’ terdengar suara bel. “Aku saja yang buka pak,” kataku pada supirku. Ketika aku sampai di gerbang depan tak ada siapa pun. “Apa sih maunya? Pasti anak-anak iseng lagi,” kataku menggerutu. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jambu tergeletak di bawah gerbang rumahku. Aku ambil amplop itu. Tiba-tiba ingatanku kembali pada seorang perempuan manis dengan sejuta mimpinya itu. “Vita,” kataku teringat pada gadis manis itu. Kubuka ranselku dan mengambil buku biru itu.  “Vit, apa sih alasan kamu ngasih buku ini ke aku?,” tanyaku dalam hati. “Rion, ada tamu ya?,” tanya ibu sambil membawa beberapa tasku. Lamunanku tentang gadis itu pun buyar, “ngga ada bu, kayaknya anak-anak iseng deh,” kataku sambil kembali membantu ibuku memasukan tas-tasku ke bagasi mobil. 

            Semua sudah beres, saatnya aku untuk pergi meraih mimpiku itu. “Ayo pak, ke bandara, cepat ya nanti ketinggalan pesawat,” kata ibu pada supirku. Mobilku pun melaju, aku kembali termenung, kubuka amplop merah jambu meisterius yang kutemukan di depan gerbang itu. Sebuah surat, kubaca surat itu:

“Assalamualaikum, hai Vita. Apa kabarmu nak? Rindu ibu pada setiap keceriaan dan senyumanmu dikelas. Maaf ibu tak bisa menemuimu lagi. Ibu titipkan surat ini pada sahabat ibu yang paling bisa ibu percaya. Ibu tak bisa meneruskan mengajar di sekolah itu lagi nak. Sakit yang diderita ibu terlalu berat. Maaf kan ibu ya nak, ibu janji jika ibu sembuh nanti ibu akan menemuimu nak, entah bagaimana caranya. Ingat, raih lah mimpimu dengan segala usaha dan doa bukan karena buku. Buku hanyalah tempat kita menuliskannya saja. Terwujud atau tidak terwujud mimpi itu tergantung pada kesungguhan diri kita meraih mimpi itu. Jika waktunya telah tiba, mimpi akan datang kepadamu ketika kau telah berusaha. Ingat janjimu ya nak, raih mimpimu setinggi langit! Ibu sayang kau. Kalau kau mau tahu, adik ibu dulu sangat mirip denganmu. Ia juga punya banyak mimpi sepertimu. Maaf ibu mungkin tak bisa bertemu denganmu lagi. Ingat pesan ibu, kau masih punya banyak waktu untuk menggapai mimpimu. Ingat itu. Peluk, cium hangat Ibu Tati.”

            Aku terpaku. “Inikah amplop yang waktu itu diberikan pada Vita?,” tanyaku bingung, “Kenapa bisa sampai dirumahku?.” Kukeluarkan buku biru itu dari dalam ranselku dan aku pun mulai membacanya lagi. “Hari ini aku dapat kawan baru, seperti mimpiku,”  tulis Vita dalam buku itu, “ Dia anak yang sangat baik. Aku tahu dia adalah orang berkecukupan, pernah sekali aku berkunjung kerumahnya. Rumahnya besaaaar sekali. Walaupun dia orang yang kaya, ia mau berteman denganku. Senangnya! Satu mimpiku tercapai. Aku akan berusaha jadi orang yang peduli dengan sekitarku agar dapat teman lebih banyak lagi.” Seiring berjalannya waktu satu demi satu mimpi Vita terwujud. Dengan usaha gigihnya ia pun mendapat nilai terbaik dikelas. Ia juga punya banyak teman.

Tapi sepertinya itu tak berjalan lama, “Hari ini aku harus pergi ke dokter. Kata ibu kemarin aku mimisan dan langsung pingsan. Aku mungkin kecapean. Sahabatku juga ikut mengatarku ke dokter.” Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi aku lihat ibu menangis, apa yang terjadi?,” tulis Vita dalam buku itu. Aku terdiam seaat mengingat hari itu. Saat itu Vita menangis seharian, “Aku ingin pulang,” kata Vita pada orang tuanya. Ya, memang ia langsung pulang hari itu. Tapi ia tak pernah masuk sekolah sejak saat itu. “Hari ini ia datang menjengukku! Aku senang sekali,” tulis Vita. Vita tertidur lemas di kamarnya. Sahabatnya itu selalu menemani Vita. Ia lah yang menghibur Vita dan membuat Vita selalu tersenyum, “Kau akan baik-baik saja,” itu lah kata-kata yang sering diucapkannya untuk menghibur Vita.

Vita terkena kanker darah. Karena orang tuanya tak sanggup bayar terapi, ia tak pernah menjalankan pengobatan seperti pengidap penyakit kanker lainnya. Hingga suatu saat ia harus menginap di rumah sakit. “Ya Allah, ini kah kesempatan terakhirku untuk bermimpi. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Aku belum jadi guru seperti Bu Tati. Aku belum membuat bahagia orang tuaku. Masih banyak yang inginku lakukan,” tulis Vita dalam bukunya. Halaman selanjutnya kosong tak ada tulisan lagi. Kututup buku itu.

Aku termenung, menatap jendela luar mobil. “Macet,” kataku dalam hati. Kulihat wajah ibu yang mulai gelisah. “Tenang bu, ngga bakal telat kok,” kataku. Aku seakan sudah tak memikirkan soal pesawatku yang mungkin sebentar lagi akan terbang meninggalkanku. Dalam pikiranku kini hanya tertulis nama sahabat yang sudah lama tak kutemui. Aku sangat bangga punya teman sepertinya. Ia lah yang mengajarkanku untuk bermimpi. “Mimpi itu adalah salah satu cara kau mengatur jalan mimpimu,” kata Vita. Ya, Vita lah sahabatku itu. Vita sangat percaya padaku, ia bahkan memberitahukan segala mimpinya padaku. Aku lah yang menemaninya saat mencari Bu Tati dan menemaninya saat ia sakit. Jujur, dulu aku adalah anak pemalu. Sejak kelas 1 SD aku sekelas dengan Vita. Aku tak pernah mempunyai teman karena sifatku ini. Hingga aku kenal dengan anak seberani dan periang seperti Vita. Aku kagum dengannya, aku ingin punya teman seperti Vita. Jalanku untuk lebih mengenal Vita terbuka setelah Ibu Tati datang. Beliau lah yang telah diam-diam mengajariku untuk berani. “Laki-laki itu harus berani! Masa loyo kayak gini?,” kata Bu Tati waktu itu. Itu lah akhir dari sifat pemaluku. 

Saat itu aku menjenguknya di rumah sakit. “Hai Vit, sudah baikan? Tadi UN sudah selesai. Soalnya mudah loh, aku yakin kamu juga bisa mengerjakannya,” kataku pada Vita. Vita hanya tersenyum saat itu. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Rion, ini kutitipkan padamu, ini adalah buku mimpi. Jika kau menuliskan mimpimu di dalamnya, maka kelak mimpimu akan tercapai,” kata Vita sambil memberikan buku biru lusuh itu padaku. 

Sejak saat itu lah aku tak pernah bertemu dengan Vita. Aku tersenyum mengingat hari-hariku bersama sahabatku itu. Aku membuka buku itu lagi. Aku seharusnya menuliskan mimpiku di buku ini seperti kata Vita. Tak sengaja halaman terakhir buku itu terbuka, terdapat tulisan di halaman itu yang belum sempat kubaca: 

Rion, terimakasih kau telah menjadi sahabatku. Mimpi terbesarku adalah menjadi guru. Tapi kini aku sadar, mimpi terbesarku bukan itu. Tapi aku ingin bisa melakukan banyak hal bersamamu. Tak ku sadari... aku ingin terus bersamamu meraih mimpi bersama. Namun sepertinya tak ada lagi harapan, aku dengar bahwa aku terkena kanker darah tingkat lanjut. Hanya 3-80% orang saja yang bisa sembuh dari penyakit ini. Itu juga yang secara rutin menjalankan terapi. Aku minta maaf selalu menolah bantuan dari ibumu. Tapi mungkin ini memang takdir Allah. Mimpiku masih banyak. Kau lihatkan ada robekan kertas ditengah-tengah buku ini? Itu adalah mimpi terbesarku. Tentu saja menjadi guru seperti yang pernah kuceritakan. Aku selalu menyimpan robekan kertas itu walau sempat kubuang. Aku tahu kau selalu bilang aku akan sembuh dan aku tahu aku bisa sembuh dari penyakit ini. Rasanya senang bila bisa kembali masuk sekolah dan bermain bersamamu lagi. Buku ini kuberikan padamu untuk kau lanjutkan. Tulis mimpi-mimpimu di atasnya dan perlihatkan padaku saat aku sudah sembuh nanti. Kau harus janji!” 

Setetes air mata jatuh dari pipiku. Andaikan itu terjadi. Sehari setelah ia memberikan buku ini padaku, pagi sekali, aku terbangun dari tidurku. Aku melihat ibu mengenakan baju serba hitam. Aku tak mau keluar dari kamar. Saat itu ibu mengetuk pintu dan mengajakku, aku tahu aku tahu apa yang terjadi. Saat ibu mengatakannya aku berteriak dan menutup telingaku. Ya, Vita telah pergi meninggalkan sejuta mimpinya yang tertulis di buku itu.

Aku telah sampai di bandara. Semua koperku sudah diangkut menuju kabin pesawat. Aku berpamitan dengan ibuku. “Titip salamku pada ayak ya bu,” kataku. Aku memeluk ibuku. Seorang pramugari menunjukkan kursi dimana aku harus duduk selama 8 jam. Jerman, ya, Jerman adalah negara tujuanku. Di sanalah nanti aku akan melanjutkan sekolahku. Aku kembali membuka amplop merah jambu misterius itu. Ternyata ada satu surat lagi. Dilihat dari tulisannya sepertinya aku kenal. Kubandingkan surat tadi dengan surat yang Bu Tati berikan untuk Vita. Ini! Tak salah lagi, tulisannya sama. Bu Tati kah orang yang menulis dan mengirimkan surat ini? Aku membuka surat itu: 

“Assalamualaikum nak? Lama tak berjumpa. Tak kubayangkan sepertinya kau kini sudah besar dan semakin tampan. Ini surat dariku untukmu beserta surat yang pernah kuberikan untuk Vita. Aku tak sempat memberikan ini pada Vita secara langsung. Aku sakit parah saat itu. Rumah sakit sepertinya tempat yang tepat untukku beristirahat. Aku sengaja tak memberitahukan nama rumah sakitnya. Takut Vita khawatir dengan keadaanku. Kini aku sudah sembuh, uang pensiunan yang sekolah berikan waktu itu sangatlah membantu pengobatanku. Sekarang aku tinggal di rumah penampungan. Di sini aku mengajarkan berbagai hal yang sama seperti dulu pada orang-orang seusiaku. Lucu ya? Bagai mengajar kalian lagi. Aku bertemu dengan ibunya di pemakaman Vita. Ia memberikan surat yang dulu kuberikan pada Vit. Bersama surat ini kutitipkan surat untuk Vita itu. Jaga baik-baik surat itu bersama dengan buku yang pernah kuberikan pada Vita. Salam, Bu Tati.”

Andai Vita tahu isi surat ini, pasti ia akan bahagia. Waktunya pesawat terbang. Seluruh penumpang telah memasang sabuk pengamannya, begitu pun aku. Aku menatap keluar jendela pesawat. Aku sudah terbang menggapai mimpiku sekarang. Kuambil sebuah pena dari tasku. “Mimpiku:1. Melanjutkan sekolah ke Jerman. Vita, aku janji, kuakan meneruskan episode-episode dalam menggapai mimpi-mimpi itu. Hingga suatu hari nanti kau tahu bahwa mimpi terbesarku adalah bertemu dengan sahabat terbaikku dan berkata ‘kau lah mimpi terbesarku’... “


fin :)

LEER MÁS...

Ada yang kenal film ini?

Hai... haha libur gini banyak bgt pr nya... ya tapi boleh kan diselingi dengan menonton film?? pernah beberapa kali nonton film ini, tapi ga pernah bosen ga tau kenapa... 
Menurut penelitian para ahli (halaaah asa ga enak) orang-orang Thailand memiliki kemiripan dengan orang-orang Indonesia seperti kita (bener gitu?) nah.. ternyata setelah diteliti lebih lanjut, film Thailand juga ga jauh beda sama film buatan Indonesia. kebanyakannya adalah film hantu-hantuan. oke kalo secara kualitas aku kurang tau (toh ga pernah suka nonton film hantu). Intinya ini adalah film Thailand pertama yang aku tonton. BUKAN TENTANG HANTU!! Film ini rameeeeeeeeee... sebetulnya sedih sih tapi yang bikin rame ini film punya satu permain yang pasti buat semua perempuan ingin nonton (ya ga? ga tau juga sih). Mario Maurer orang blasteran.. Thailand Jerman kalo ga salah... Tebak film apa ?? jeng jeng jeng jeeeng (sok asik)

 CRAZY LITTLE THING CALLED LOVE (FIRST LOVE)

ga tau deh judul yang benernya yang mana... hahaha.. kalo di Thailand nya mah First love. Nah pemeran utamanya yang ganteng itu namanya P'Shone:

ini mario maurer pemeran P'Shone



hehe... 

Ceritanya tuh dia ini kayak cowok idaman disekolahnya... tapi ternyata dia ini suka sama cewek jelek namanya nam. peran nam ini menurut aku sedikit mirip sama temen aku!! haha . dia ini berubah dari jelek jadi cantik banget!


Before

After
Naaah... pokoknya mah ujung-ujungnya mereka jadi deket...
cocok ya??

Naah (nah mulu dari tadi) P'shone itu yang jadi daya tarik filmnya buat anak-anak Pasat... (terutama cewe termasuk aku). Kita waktu itu sempet nonton film ini di waktu selang pelajaran... untuk refreshing (cenah)... setelah menonton film ini semua anak cewe pasat pada terpikat (haha naooon deui) sampai Farah Said Baisa (salah satu temen aku) yang cuek itu ikut nangis dan suka sama pemeran utama cowoknya itu... Oke ini beberapa foto P'Shone:
Adegan Putri salju (drama)
Dimata nam
Nam jatuh terus di bantuin
ini pas abis di hukum


ini pas mau berantem

Abis tendangan pinalti
Lagi tanding (masih aja senyum)
ngasih bunya pas valentine
patah hati

"ya udah lah ga apa-apa"
ditembak nam pake bunga (?) (loh mati dong?)
Ini The End nya...
Note: bagi yang blm nonton harus nonton!! :D
Salam angin pasat wushh!!

Cerpenku tentang mimpi.. aku juga punya mimpi :P

Setelah terinspirasi dari Nadi A. (makasih kawan :) aku juga punya mimpi... 
setiap orang pasti punya mimpi ya ga? nah... aku ini memang bukan orang yang suka membicarakan masalah mimpiku pada orang lain. Pertama kalau ngeliat orang lain yang udah bisa menentukan nanti bakal kuliah jurusan apa, aku suka jadi takut karena sepertinya aku belum punya pemikiran sampai kesitu padahal aku sudah kelas 10 (terus?) selama ini aku cuma mikir pokoknya harus masuk ITB (amiiiiiiin!!).
Mimpi yang satu ini (beberapa sih) sepertinya bersifat umum (ga umum juga sih). ini dia beberapa mimpi :
 Jangka pendek ini: 
1. ingin diberi kelancaran UAS hehe...
2. Diberi kesehatan terutama 3 bulan ini... (kegiatan tambah banyak)
3. Nilai UAS di atas KKM semua (amiiiiiiin)
4. Ga remed UAS... 
5. latihan dan segala persiapan KOA 9 lancaaaar 
6. 17 Juli 2011, KOA 9 lancar dan sukses (memuaskan sebagaimana keinginan dan sesuai dengan usaha kita dan kesungguhan kita, pokoknya cape nya kebayar deh)
7. Masuk kelas 11 bersama dengan anak-anak X IPA 1 (pengennya)
oke selarang jangka panjang: 
8. mendapat nilai yang memuaskan disetiap kenaikan kelas..
9. Lulus SMA dengan nilai memuaskan dan membahagiakan orang tua
10. Bisa masuk ITB (ga tau jurusan apa) lewat jalur undangan... (amiiin pisaaaan)
11. naik haji :)
12. Masuk surga dan bertemu dengan kawan-kawan semua... juga keluarga :) 
.... 
....
Sebetulnya masih sangaaaat banyak... tapi yang paling utama ya yang di atas. oh ya satu lagi yang aku bingung aku masih belum punya cita-cita ingin jadi apa. yang jelas dari dulu kalau sudah besar nanti aku ingin jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain (amin) entah itu jadi apa. 

ya sebetulnya ini geje sih. haha hanya untuk mengisi waktu saja (sembari tugas nungguin dibelakang).. ya udah lah ya... dadah (?) 
pokoknya sejauh apa mimpimu itu raih lah dengan seluruh usahamu dan juga kesungguhanmu. jangan lupa berdoa dan terus berikhtiar.. siapapun dirimu, dimanapun dirimu, apapun mimpimu, jika kau bersungguh-sungguh mimpi yang mungkin hanya sekedar khayalan bisa jadi kenyataan :D 


Cerpen kemarin yang ku edit ulang...

Ya... ini lah... cerpen 'coretan mimpi' yang atas berbagai komentar dan pertimbangan yang jauuuuuh dan matang. insya Allah lebih bagus... oh iya aku minta komentarnya ya kawan mana yang lebih bagus... hehehe


"CORETAN MIMPI" by: Afina Rahmani
   
Tinggal selangkah lagi, aku kan gapai mimpiku yang dari dulu kucita-citakan. Kini aku sedang mengepak semua barang-barangku bersiap untuk pergi meraih mimpiku itu. Kupandang sekeliling kamarku, semua barang sudah dipak, hanya tinggal lemari, tempat tidur, dan meja belajarku. Kudekati meja belajar itu, tergeletak sebuah buku biru lusuh, buku penuh kenangan. Kubuka halaman pertama buku itu, tertempel foto seorang gadis kecil dengan senyuman manis penuh impian. Aku sangat kenal gadis itu, ia adalah gadis penuh mimpi.
   Gadis itu bernama Vita. Anaknya lucu dan periang. Setiap hari selalu ia sambut dengan senyuman. "Vita, sudah jam setengah tujuh.. kalau tidak bangun sekarang nanti kamu telat pergi sekolah," kata ibu. "Ya bu, Vita sudah bangun kok!," teriak Vita dari kamarnya. Pagi ini cerah seperti biasanya, Vita bergegas membereskan buku dan mandi. Sarapan pagi ini berjalan seperti biasa, tapi ada satu sosok yang kurang di meja makan. "Mana ayah bu?," tanya Vita. "Ayah tadi pagi sekali sudah berangkat kerja sayang," kata ibu menjelaskan. "Yaah... jadi Vita ga bisa diantar ayah ke sekolah dong?," keluh Vita dengan muka lugunya. Ibu hanya tersenyum. Keluarga Vita bukanlah keluarga kaya. Ayahnya hanyalah seorang supir angkot. Ibunya juga hanya seorang penjual kue. Tapi Vita sangat bangga dengan kedua orang tuanya.
    Hari itu adalah hari pertama Vita di kelas 2 SD. Ia selalu bersemangat setiap harus berangkat ke sekolah. Tebak kenapa? Vita sangat senang berada dilingkungan yang ramai ,ia juga sangat rajin dalam belajar. Tapi ada satu yang paling ia tunggu disekolahnya.. Guru. Bagi Vita guru adalah pahlawan. Guru favorit di sekolahnya adalah Bu Tati. Beliau adalah guru yang sudah cukup berumur, tapi sangat ramah dan pengertian dengan setiap muridnya, terutama Vita yang selalu bersemangat di sekolah. 
      "Pagi anak-anak, hari ini kita akan bercerita tentang cita-cita kalian saat sudah besar nanti. Setelah menceritakannya di depan, kalian harus menuliskannya di kertas ya, siapa yang mau lebih dulu?" kata Bu Tati. Semua murid mengangkat tangan. Satu persatu murid maju kedepan menceritakan tentang cita-citanya masing-masing. Dokter, polisi, dokter, dokter, suster, dokter, pilot, pilot, pilot. Hampir seluruh murid mempunyai cita-cita serupa. Kini giliran Vita, "Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi Guru, karena bagiku guru adalah pahlawan tanpa pamrih yang paling banyak berjasa dalam hidup semua orang," jelas Vita. Seluruh kelas terdiam, bagi anak seumur Vita saat itu, guru bukanlah cita-cita yang terbayangkan, apalagi dengan alasan sebagus itu.
----------------------------------------------------------------------------- 
       Hari-hari Vita selalu dihiasi dengan keceriaannya. Sayangnya tak banyak orang yang mau berteman dengannya. Rata-rata teman di sekolahnya adalah anak dengan orang tua berkecukupan. Tapi Vita tak pernah malu dengan keadaan orang tuanya, ia tak keberatan tak punya banyak teman ketimbang harus kecewa dengan keadaan orang tuanya. Tak aneh kalau setiap waktu istirahat tiba, teman satu-satunya hanya lah Bu Tati. Beliau tak pernah keberatan membacakan buku cerita untuk Vita, beliau juga tak pernah menolak untuk mengantar Vita pulang ke rumahnya kalau hari hujan. Bu Tati tidak punya keluarga. Dalam usianya yang sudah cukup berumur, tak ada orang yang membantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Tak jarang Bu Tati terlihat lesu di sekolah, tapi beliau selalu menampakan wajah yang ceria di depan murid-muridnya. 
      Senyuman kini terlukis diwajahku mengingat sosok Bu Tati. Aku mengenalinya, sosok penuh wibawa dan luar biasa. Halaman demi halaman buku biru itu kubaca sambil terawa sendiri.. Vita berulang tahun yang ke-8, kulihat foto seorang gadis kecil bergaun merah jambu bersama dengan sosok luar biasa itu.. Ya, tak salah lagi itu adalah foto Vita dengan guru kesayangannya Bu Tati. Di hari istimewa itu, Ayah Vita sengaja mengadakan pesta ulang tahun untuk Vita. Ibu sengaja membuatkan gaun merah jambu sederhana untuk Vita pakai. Tak banyak yang datang ke pesta sederhana itu. Hanya 2 orang sepupunya dan 1 orang yang tak kunjung datang juga.. "Akan kah ia datang ibu?," tanya Vita tak sabar. "Pasti sayang, masa sih ia tak mau datang ke pesta ulang tahunmu?, mungkin ia sedang bingung memilih baju yang tepat untuk dikenakan ke pestamu ini," jawab ibu menghibur. Pesta sederhana itu tak juga dimulai. "Kita mulai saja sekarang ya sayang," kata ibu. "Nggak! pokoknya kalau belum datang Vita ga mau mulai," teriak Vita. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. “Asik-asik!!! Bu Tati datang! Bu Tati datang!!,” teriak Vita.
            Akhrinya pesta pun dimulai. “Ayo kita buka kadonya!,” kata ibu. Kado di hari ulang tahunnya ini tidak banyak seperti kado ulang tahun anak-anak kaya jaman sekarang, yang kalau merayakan pesta ulang tahun, kadonya bisa berpuluh-puluh. Dua, ya hanya dua kado. Tapi bagi Vita dua kado sudah cukup. Kado pertama yang ia buka adalah kado dari orang tuanya. Sebuah kamera sederhana dengan filmnya. “Kita gunakan bersama-sama ya nak,” kata ayah. Untuk Vita, yang masih berumur 8 tahuin itu bukan lah hal yang cukup menarik, tapi ia tahu itu adalah kado yang sangat berharga. Kado terakhirnya adalah kado dari Bu Tati, sebuah buku biru. "Buku cerita kah ini bu?, kok kosong?," tanya Vita. "Ya, bisa jadi ini adalah buku cerita yang sangat menarik," kata Bu Tati. "Tergantung apa yang akan kau tulis didalamnya. Buku ini adalah buku mimpi, jika kau menulis mimpi-mimpimu dibuku ini, maka kelak mimpimu itu akan tercapai,” tambah Bu Tati. Vita langsung bersemangat mendengar itu.
Setelah acara foto-foto, pesta pun selesai. Semua tamu sudah pulang, waktu juga telah menunjukan pukul 9 malam. Vita sudah berganti baju dan siap untuk tidur. “Vita, ayo masuk ke kamarmu, besok memang libur, tapi itu bukan alasanmu untuk tidur malam,” kata ibu. Vita pun berlari menuju kamar tidurnya. Ia tak langsung tidur, berkali-kali ia buka buku biru pemberian Bu Tati itu. Vita mengambil sebuah pulpen, lalu ia beri nama buku itu: “Coretan Mimpi. Punya Vita.” Dengan yakinnya ia goreskan tinta diatas lembaran buku itu. “Buku ini kan kujadikan buku tentang mimpi-mimpiku. Hai, buku jangan kau lupakan janjimu ya. Setiap impian yang kutuliskan harus kau kabulkan,” kata Vita dalam hati. Dengan semangat ia pun mulai menulis mimpi-mimpinya.
-----------------------------------------------------------------------
Buku biru itu pun penuh dengan berbagai impiannya. “Aku ingin mendapat nilai terbaik saat kululus nanti dari SD”, “Aku ingin mendapat teman yang banyak”, “Aku ingin kue buatan ibuku laku”, “Aku ingin ayah dapat pekerjaan yang lebih baik”, itu adalah sebagian dari mimpi-mimpinya yang kubaca di buku itu. Halaman demi halaman kubuka, tiba-tiba aku sampai pada halaman penuh tinta merah dan coretan-coretan. Di atasnya tertulis “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Tulisan-tulisan dengan tinta biru terhalang oleh coretan tinta merah. Ku perhatikan baik-baik halaman aneh itu.
----------------------------------------------------------------------------- 
Sejak hari ulang tahun Vita yang ke-8, Bu Tati jarang masuk kelas. Banyak kabar bilang, ia terkena penyakit, entah apa itu. Saat itu Vita berumur 11 tahun, ia telah menduduki bangku kelas 6. Pagi itu Vita duduk sendiri di teras kelasnya, menulis sesuatu di buku biru dengan semangatnya. “Hari ini akan kutunjukan mimpi-mimpiku di buku ini pada Bu Tati,” kata Vita dalam hati. Tak sabar ia menunggu bel pulang berbunyi. Ketika waktu pulang telah tiba, seluruh murid berlarian menuju gerbang sekolah, terkecuali Vita. Ia berlari menuju ruang guru, “Semoga hari ini ia masuk,” harap Vita dalam hati. “Bu, apa anda yakin, anda bisa menghadapi ini? Kami tidak yakin kau akan seproduktif dulu. Akhir-akhir ini anda jarang masuk kelas. Saya khawatir bu, apalagi anda sudah tak punya kerabat dekat lagi. Saya tunggu keputusan ibu besok ya,” kata seseorang di balik pintu ruang guru. Kepala sekolah keluar dari balik pintu itu, “Ada apa gerangan?,” tanya Vita.
“Siang bu,” Vita mengucapkan salam. Terlihat wajah lesu penuh dengan air mata. “Ada apa bu? Ibu masih sakit?,” tanya Vita. “Tidak Vita, ibu baik-baik saja kok. Ada apa kamu kemari?,” jawab Bu Tati sambil menghapus air mata dari wajahnya. “Ini bu, buku pemberian ibu waktu itu? masih ingat kan? Vita bingung bu, sudah berpuluh-puluh mimpi kutuliskan di buku ini, tapi belum satu pun terkabulkan,” keluh Vita. Bu Tati hanya terdiam dan tersenyum. “Buku itu menunggu waktu yang tepat untuk mengabulkannya. Saat kau sudah siap kau pasti akan meraih mimpi itu, asal kau mau berusaha dan bersabar,” kata Bu Tati. “Ya bu. Oh ya, ada satu mimpi besarku bu. Tapi belum saya tuliskan, saya takut mimpi itu tidak akan terkabulkan jika kutulis di buku ini,” kata Vita. “Apa itu?,” tanya Bu Tati penasaran melihat senyuman Vita. Tak sempat Vita mengucapkannya tiba-tiba Bu Tati terbatuk. Vita belum pernah melihat ini sebelumnya, darah... ya, tak salah lagi itu darah. “Ibu kenapa?,” tanya Vita khawatir. Bu Tati tidak menjawab dan berlari menuju toilet. Apa itu tadi?
Mulai dari kejadian itu, Bu Tati di kabarkan keluar dari sekolah ini dan tidak akan mengajar lagi. Vita yang hampir menyelesaikan sekolah tingkat dasarnya seperti hilang harapan. Esok adalah hari kelulusannya, ia dapat peringkat 10, tak seperti yang ia harapkan, tak seperti yang ia tulis dalam buku itu. Malam itu, ia baca seluruh mimpi-mimpinya dalam buku itu, tak ada satupun yang tercapai. “Aku sudah berusaha, sudah bersabar, sudah berdoa. Apa lagi yang kau minta hai buku? Apa?,” kata Vita dalam hati. Ia buka halaman satu persatu, ia baca sebuah tulisan dalam buku itu, yang pernah ia tulis dan ia anggap sebagai mimpi besarnya. Setetes air mata jatuh ke atas lembaran itu. “Di mana kau sekarang bu?,” Vita bertanya dalam hatinya. Seperti hilang harapan, tanpa sadar ia goreskan tinta merah dalam buku itu “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Ia robek satu lembar dari buku itu. 
----------------------------------------------------------------------------- 
Tak pernah ia tulis mimpi-mimpi lainnya di buku biru itu lagi. Saat Vita sudah menduduki bangku SMP, tiba-tiba ia dapat berita baik, “Vita!, tunggu!,” panggil seorang anak laki-laki sebayanya. Vita berhenti dan berbalik, ya, ia adalah salah satu murid di SMP itu, --entah siapa namanya, tak ia tulisakan di buku ini-- “Aku punya berita, ini aku kemarin dapat alamat tempat Bu Tati tinggal,” kata laki-laki itu. Vita hanya terdiam, ia belum pernah diajak berbicara dengan satu pun anak sebayanya. “Mungkin besok aku bisa mengantarkanmu ke tempat ini,” anak laki-laki itu menawarkan. Seakan mimpinya terwujud, ia dapat teman sekaligus informasi tentang di mana ia bisa bertemu guru kesayangannya itu.
Seperti janji anak itu menjemput Vita. Ia sepertinya orang kaya, “Hai Vit, ayo naik. Ngga usah malu-malu. Supirku dengan senang hati mau membantu kita mencari alamat ini,” kata anak itu. Alamatnya memang asing dan memang setelah di telusuri rumah itu sangat jauh dari rumah Vita, apa lagi dari sekolahnya. Tak terbayangkan betapa jauhnya perjalanan Bu Tati ke sekolah setiap harinya. Vita ingat, beliau adalah guru terdisiplin, ia tak pernah telat. ‘Tok tok tok’, “Assalamualaikum, Bu Tati?,” kata anak laki-laki itu. Tak ada jawaban, rumah itu sepertinya sangat sepi. Tiba-tiba seseorang menegur dari sebelah rumah itu, “Nyari siapa nak?” “Kami sedang mencari guru kami bu, namanya Bu Tati, mungkin ibu kenal?,” tanya Vita. Tiba-tiba raut wajah orang itu berubah. Ia keluar dari pagar rumahnya dan mengajak kami masuk ke rumahnya.
“Begini nak, rasanya tak enak kalau harus bicara di luar,” kata ibu itu. “Memangnya kenapa bu?,” tanya Vita. “Begini, saya ini temannya Bu Tati dari sejak kecil, rumah kami bersebelahan, ya seperti yang kalian lihat sekarang. Ia dulu adalah anak periang, tapi sejak kematian ibu, ayah, dan adiknya dalam kecelakaan, ia tak pernah mau bermain lagi dengan saya. Sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah sekolah sebagai guru. Entah berapa tahun yang lalu, setelah lama bekerja di sana, ia kembali terlihat ceria seperti dulu. Ia mulai mau berteman dengan saya lagi. Terkenal dengan keramahannya, semua orang di sini selalu membantunya. Tapi baru beberapa minggu yang lalu...,” tiba-tiba ibu itu berhenti dan menundukan kepalanya serta menutup wajahnya dengan tangannya. “Tapi kenapa bu?,” tanya Vita heran. “Ia jatuh sakit. Sudah terlalu parah untuk diobati, tapi ia tetap saja tak mau dirawat di rumah sakit atau dibawa ke dokter...,” ibu itu berhenti lagi.
“Lalu bu? Dimana ia sekarang? Di rumah ini kan bu?, atau ada di rumahnya? Beri tahu aku sekarang bu, aku tak perlu mendengar cerita lainnya, aku hanya ingin tahu dimana ia sekarang?,” jelas Vita. Perasaan takut tiba-tiba menutupi hatinya. Wajah ibu-ibu itu kini penuh pertanyaan, “Vita kah namamu nak?,” tanya ibu itu. “Ya,” jawab Vita heran. Ibu itu berdiri. Wajahnya penuh dengan kebingungan. “Maaf, aku tak tahu apapun tentang Bu Tati sekarang,” kata ibu itu. Kini perasaan Vita berubah menjadi keheranan. Mereka pun pulang dengan perasaan kecewa. Vita diantar pulang sampai rumah oleh teman barunya itu, “Maaf ya Vit, aku tak bisa mempertemukanmu dengan Bu Tati,” kata anak laki-laki itu. “Ngga apa-apa. Oh ya, dari mana kau kenal Bu Tati?,” tanya Vita. “Suatu hari nanti kau akan tahu itu, oh ya, aku yakin Bu Tati orang yang baik, jadi tolong jangan berhenti bermimpi,” kata anak laki-laki itu, ia pun pergi dengan mobilnya meninggalkan Vita dengan sejuta pertanyaan dalam pikirannya.
----------------------------------------------------------------------------- 
            Kini aku termenung menatap buku itu. Robekan itu masih ada, tepat satu halaman sebelum coretan merah itu. “Tulisan apa ya yang ada dirobekan itu?,” tanyaku penasaran. “Rion!!, sudah selesaikan? Ayo bantu ibu memindahkan barang-barangmu ini ke dalam mobil,” panggil ibu dari bawah. Kututup buku itu dan menyimpannya dalam tas ranselku. Aku pun turun, ‘Ting tong’ terdengar suara bel. “Aku saja yang buka pak,” kataku pada supirku. Ketika aku sampai di gerbang depan tak ada siapa pun. “Apa sih maunya? Pasti anak-anak iseng lagi,” kataku menggerutu. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jambu tergeletak di bawah gerbang rumahku. Aku ambil amplop itu. Tiba-tiba ingatanku kembali pada seorang perempuan manis dengan sejuta mimpinya itu. “Vita,” kataku teringat pada gadis manis itu. Kubuka ranselku dan mengambil buku biru itu.  “Vit, apa sih alasan kamu ngasih buku ini ke aku?,” tanyaku dalam hati. “Rion, ada tamu ya?,” tanya ibu sambil membawa beberapa tasku. Lamunanku tentang gadis itu pun buyar, “ngga ada bu, kayaknya anak-anak iseng deh,” kataku sambil kembali membantu ibuku memasukan tas-tasku ke bagasi mobil.
            Semua sudah beres, saatnya aku untuk pergi meraih mimpiku itu. “Ayo pak, ke bandara, cepat ya nanti ketinggalan pesawat,” kata ibu pada supirku. Mobilku pun melaju, aku kembali termenung, kubuka amplop merah jambu misterius yang kutemukan di depan gerbang itu. Sebuah surat, kubaca surat itu:
“Assalamualaikum, hai Vita. Apa kabarmu nak? Rindu ibu pada setiap keceriaan dan senyumanmu di kelas. Maaf ibu tak bisa menemuimu lagi. Ibu titipkan surat ini pada sahabat ibu yang paling bisa ibu percaya. Ibu tak bisa meneruskan mengajar di sekolah itu lagi nak. Sakit yang diderita ibu terlalu berat. Maaf kan ibu ya nak, ibu janji jika ibu sembuh nanti ibu akan menemuimu nak, entah bagaimana caranya. Ingat, raih lah mimpimu dengan segala usaha dan doa bukan karena buku. Buku hanyalah tempat kita menuliskannya saja. Terwujud atau tidak terwujud mimpi itu tergantung pada kesungguhan diri kita meraih mimpi itu. Jika waktunya telah tiba, mimpi akan datang kepadamu ketika kau telah berusaha. Ingat janjimu ya nak, raih mimpimu setinggi langit! Ibu sayang kau. Kalau kau mau tahu, adik ibu dulu sangat mirip denganmu. Ia juga punya banyak mimpi sepertimu. Maaf ibu mungkin sekarang tak bisa bertemu denganmu. Ingat pesan ibu, kau masih punya banyak waktu untuk menggapai mimpimu. Ingat itu. Peluk, cium hangat Ibu Tati.”
            Aku terpaku. “Kenapa amplop ini bisa ada dirumahku?,” tanyaku bingung. Kukeluarkan buku biru itu dari dalam ranselku dan aku pun mulai membacanya lagi. “Hari ini aku dapat kawan baru, seperti mimpiku, tulis Vita dalam buku itu, “ Dia anak yang sangat baik. Aku tahu dia adalah orang berkecukupan, pernah sekali aku berkunjung ke rumahnya. Rumahnya besaaaar sekali. Walaupun dia orang yang kaya, ia mau berteman denganku. Senangnya! Satu mimpiku tercapai. Aku akan berusaha jadi orang yang peduli dengan sekitarku agar dapat teman lebih banyak lagi.” Seiring berjalannya waktu satu demi satu mimpi Vita terwujud. Dengan usaha gigihnya ia pun mendapat nilai terbaik di kelas. Ia juga punya banyak teman.
Tapi sepertinya itu tak berjalan lama, “Hari ini aku harus pergi ke dokter. Kata ibu kemarin aku mimisan dan langsung pingsan. Aku mungkin kecapean. Sahabatku juga ikut mengantarku ke dokter.” Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi aku lihat ibu menangis, apa yang terjadi?,” tulis Vita dalam buku itu. Aku terdiam seaat mengingat hari itu. Saat itu Vita menangis seharian, “Aku ingin pulang,” kata Vita pada orang tuanya. Ya, memang ia langsung pulang hari itu. Tapi ia tak pernah masuk sekolah sejak saat itu. “Hari ini ia datang menjengukku! Aku senang sekali,” tulis Vita. Vita tertidur lemas di kamarnya. Sahabatnya itu selalu menemani Vita. Ia lah yang menghibur Vita dan membuat Vita selalu tersenyum, “Kau akan baik-baik saja,” itu lah kata-kata yang sering diucapkannya untuk menghibur Vita.
Vita terkena kanker darah. Karena orang tuanya tak sanggup bayar terapi, ia tak pernah menjalankan pengobatan seperti pengidap penyakit kanker lainnya. Hingga suatu saat ia harus menginap di rumah sakit. “Ya Allah, ini kah kesempatan terakhirku untuk bermimpi. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Aku belum jadi guru seperti Bu Tati. Aku belum membuat bahagia orang tuaku. Masih banyak yang inginku lakukan,” tulis Vita dalam bukunya. Halaman selanjutnya kosong tak ada tulisan lagi. Kututup buku itu.
Aku termenung, menatap jendela luar mobil. “Macet,” kataku dalam hati. Kulihat wajah ibu yang mulai gelisah. “Tenang bu, ngga bakal telat kok,” kataku. Aku seakan sudah tak memikirkan soal pesawatku yang mungkin sebentar lagi akan terbang meninggalkanku. Dalam pikiranku kini hanya tertulis nama sahabat yang sudah lama tak kutemui. Aku sangat bangga punya teman sepertinya. Ia lah yang mengajarkanku untuk bermimpi. “Mimpi itu adalah salah satu cara kau mengatur jalan mimpimu,” kata Vita. Ya, Vita lah sahabatku itu. Vita sangat percaya padaku, ia bahkan memberitahukan segala mimpinya padaku. Aku lah yang menemaninya saat mencari Bu Tati dan menemaninya saat ia sakit. Jujur, dulu aku adalah anak pemalu. Sejak kelas 1 SD aku sekelas dengan Vita. Aku tak pernah mempunyai teman karena sifatku ini. Hingga aku kenal dengan anak seberani dan periang seperti Vita. Aku kagum dengannya, aku ingin punya teman seperti Vita. Jalanku untuk lebih mengenal Vita terbuka setelah Ibu Tati datang. Beliau lah yang telah diam-diam mengajariku untuk berani. “Laki-laki itu harus berani! Masa loyo kayak gini?,” kata Bu Tati waktu itu. Itu lah akhir dari sifat pemaluku.
Saat itu aku menjenguknya di rumah sakit. “Hai Vit, sudah baikan? Tadi UN sudah selesai. Soalnya mudah loh, aku yakin kamu juga bisa mengerjakannya,” kataku pada Vita. Vita hanya tersenyum saat itu. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Rion, ini kutitipkan padamu, ini adalah buku mimpi. Jika kau menuliskan mimpimu di dalamnya, maka kelak mimpimu akan tercapai,” kata Vita sambil memberikan buku biru lusuh itu padaku.
Sejak saat itu lah aku tak pernah bertemu dengan Vita. Tiga tahun sudah berlalu sejak hari itu. Aku tersenyum mengingat hari-hariku bersama sahabatku. Aku membuka buku itu lagi. Aku seharusnya menuliskan mimpiku di buku ini seperti kata Vita. Tak sengaja halaman terakhir buku itu terbuka, terdapat tulisan di halaman itu yang belum sempat kubaca:
Rion, terimakasih kau telah menjadi sahabatku. Mimpi terbesarku adalah menjadi guru. Tapi kini aku sadar, mimpi terbesarku bukan itu. Tapi aku ingin bisa melakukan banyak hal bersamamu. Tak ku sadari... aku ingin terus bersamamu meraih mimpi bersama. Namun sepertinya tak ada lagi harapan, aku dengar bahwa aku terkena kanker darah tingkat lanjut. Hanya 3-80% orang saja yang bisa sembuh dari penyakit ini. Itu juga yang secara rutin menjalankan terapi. Aku minta maaf selalu menolak bantuan dari ibumu. Tapi mungkin ini memang takdir Allah. Mimpiku masih banyak. Kau lihatkan ada robekan kertas di tengah-tengah buku ini? Itu adalah mimpi terbesarku. Tentu saja menjadi guru seperti yang pernah kuceritakan padamu. Kau tahu, mimpiku menjadi guru mungkin belum tercapai. Tapi aku yakin suatu saat mimpi itu akan tercapai. Aku tahu kau selalu bilang aku akan sembuh dan aku tahu aku bisa sembuh dari penyakit ini. Rasanya senang bila bisa kembali masuk sekolah dan bermain bersamamu lagi. Buku ini kuberikan padamu untuk kau lanjutkan. Tulis mimpi-mimpimu di atasnya dan perlihatkan padaku saat aku sudah sembuh nanti. Kau harus janji!”
Setetes air mata jatuh dari pipiku. Andaikan itu terjadi. Aku tahu sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Aku terlalu sibuk mengejar mimpiku untuk dapat belajar di luar negeri. Seperti yang sering Vita katakan, aku harus serius dalam mengejar mimpi. Aku tahu Vita telah menitipkan sejuta mimpinya yang tertulis di buku itu untukku. Dan aku berjanji untuk melanjutkannya.
Aku terbangun dari lamunanku, kini aku telah sampai di bandara. Semua koperku sudah diangkut menuju kabin pesawat. Aku berpamitan dengan ibuku. “Titip salamku pada ayah ya bu,” kataku. Aku memeluk ibuku. Seorang pramugari menunjukkan kursi dimana aku harus duduk selama 8 jam. Jerman, ya, Jerman adalah negara tujuanku. Di sanalah nanti aku akan melanjutkan sekolahku. Aku kembali membuka amplop merah jambu misterius itu. Ternyata masih ada satu kertas lagi. Tapi yang satu ini bukan lah surat. Tapi sebuah kertas kecil dengan pesan di atasnya:
Hai anak muda. Lama tak bertemu, bersama pesan ini aku sampaikan bahwa Bu Tati sudah tiada sejak satu tahun yang lalu. Sebenarnya aku hendak memberi tahukannya pada Vita, temanmu itu. Tapi sepertinya ia sudah tidak tinggal di rumah itu lagi. Jadi aku pergi mencari alamatmu. Surat yang satunya lagi adalah surat Bu Tati untuk Vita. Sudah lama ia tulis surat itu. Sebelum beliau meninggal, ia titipkan ini padaku. Maaf saat itu aku berbohong. Bu Tati sebenarnya dirawat di suatu rumah sakit. Tapi ia sempat melarangku untuk memberitahukannya pada anak yang bernama Vita. Ia takut hal itu akan menghambat mimpinya. Kutitip surat ini padamu ya, Dian, sahabat Bu Tati.”
Aku menutup amplop itu dan memasukkannya ke dalam ranselku. Andai Vita tahu isi surat ini, andai aku bisa menyampaikannya pada Vita. Waktunya pesawat terbang, seluruh penumpang telah memasang sabuk pengamannya. Lagi-lagi lamunanku buyar. Dengan segera aku pakai sabuk pengamanku. Aku menatap keluar jendela pesawat. Aku sudah terbang menggapai mimpiku sekarang. Kuambil sebuah pena dari tasku. “ Vita, kini semuanya terlihat jelas. Aku sekarang mengerti apa yang disebut mimpi. Ya, sesuai janjiku aku akan menuliskan mimpiku dalam buku ini. Vita, mungkin kau kira kau belum menggapai mimpimu itu. Tapi bagiku, kau telah meraih mimpi itu dengan mengajarkan banyak hal kepadaku tentang mimpi. Kau sudah menjadi guru untukku, kau lah yang mengajarkanku untuk dapat bermimpi dan menjadi anak yang lebih berani.  Aku janji, kuakan meneruskan episode-episode dalam menggapai mimpi-mimpi itu. Mungkin mimpiku adalah melanjutkan sekolah ke luar negeri. Tapi aku sadar, masih banyak mimpi yang ingin kugapai hingga suatu hari nanti kau tahu bahwa mimpi terbesarku adalah bertemu dengan sahabat terbaikku dan berkata ‘kau lah mimpi terbesarku’... “
-------------------------------------------------------------------------------
Tak terasa 8 jam berlalu. Aku sampai di salah satu bandara Jerman. Rasanya seperti orang asing di sini. Kanan-kiri kutengok semuanya sama saja, orang-orang berkulit putih menatapku heran. Tanpa rasa malu aku langsung berjalan menuju loket migrasi untuk cek paspor. “Vita Nur Amalia?,” tanya salah satu penjaga loket dengan logat bulenya. “From Indoneisa? Right?,” tanyanya lagi. “Yes,” kata seorang perempuan remaja tepat satu orang di depan antrianku. Aku berusaha untuk dapat melihat wajah perempuan itu. “Your reason here?,” tanya penjaga loket itu. “To take some medical therapy,” jawabnya. Remaja itu menggunakan kursi roda. Seorang perempuan setengah baya mendampinginya. “Ok, get well soon,” kata penjaga itu sambil mengecap paspor milik remaja itu. Ketika remaja itu berbalik dan melewatiku, mataku bagaikan terbohongi oleh kenyataan. Tak salah lihat kah aku? Perempuan itu sepertinya merasakan hal yang sama. Ia memberhentikan kursi rodanya dan berbalik. Sebuah senyuman manis tergambar diwajahnya, senyuman yang selama ini kunantikan, yang selama ini kurindukan. Ya, tak salah lagi, ia lah mimpi terbesarku, Vita, gadis sejuta mimpi.   


Bagusan yang mana? hehe minta komentarnya kawan!!

Full Version ( Coretan Mimpi)

"CORETAN MIMPI" by: Afina Rahmani 
    Tinggal selangkah lagi, aku kan gapai mimpiku yang dari dulu kucita-citakan. Kini aku sedang mengepak semua barang-barangku bersiap untuk pergi meraih mimpiku itu. Kupandang sekeliling kamarku, semua barang sudah dipak, hanya tinggal lemari, tempat tidur, dan meja belajarku. Kudekati meja belajar itu, tergeletak sebuah buku biru lusuh, buku penuh kenangan. Kubuka halaman pertama buku itu, tertempel foto seorang gadis kecil dengan senyuman manis penuh impian. Aku sangat kenal gadis itu, ia adalah gadis penuh mimpi.
  
   Gadis itu bernama Vita. Anaknya lucu dan periang. Setiap hari selalu ia sambut dengan senyuman. "Vita, sudah jam setengah tujuh.. kalau tidak bangun sekarang nanti kamu telat pergi sekolah," kata ibu. "Ya bu, Vita sudah bangun kok!," teriak Vita dari kamarnya. Pagi ini cerah seperti biasanya, Vita bergegas membereskan buku dan mandi. Sarapan pagi ini berjalan seperti biasa, tapi ada satu sosok yang kurang di meja makan. "Mana ayah bu?," tanya Vita. "Ayah tadi pagi sekali sudah berangkat kerja sayang," kata ibu menjelaskan. "Yaah... jadi Vita ga bisa diantar ayah ke sekolah dong?," keluh Vita dengan muka lugunya. Ibu hanya tersenyum. Keluarga Vita bukanlah keluarga kaya. Ayahnya hanyalah seorang supir angkot. Ibunya juga hanya seorang penjual kue. Tapi Vita sangat bangga dengan kedua orang tuanya.
    
   Hari itu adalah hari pertama Vita di kelas 2 SD. Ia selalu bersemangat setiap harus berangkat ke sekolah. Tebak kenapa? Vita sangat senang berada dilingkungan yang ramai ,ia juga sangat rajin dalam belajar. Tapi ada satu yang paling ia tunggu disekolahnya.. Guru. Bagi Vita guru adalah pahlawan. Guru favorit di sekolahnya adalah Bu Tati. Beliau adalah guru yang sudah cukup berumur, tapi sangat ramah dan pengertian dengan setiap muridnya, terutama Vita yang selalu bersemangat di sekolah.

      "Pagi anak-anak, hari ini kita akan bercerita tentang cita-cita kalian saat sudah besar nanti. Setelah menceritakannya di depan, kalian harus menuliskannya di kertas ya, siapa yang mau lebih dulu?" kata Bu Tati. Semua murid mengangkat tangan. Satu persatu murid maju kedepan menceritakan tentang cita-citanya masing-masing. Dokter, polisi, dokter, dokter, suster, dokter, pilot, pilot, pilot. Hampir seluruh murid mempunyai cita-cita serupa. Kini giliran Vita, "Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi Guru, karena bagiku guru adalah pahlawan tanpa pamrih yang paling banyak berjasa dalam hidup semua orang," jelas Vita. Seluruh kelas terdiam, bagi anak seumur Vita saat itu, guru bukanlah cita-cita yang terbayangkan, apalagi dengan alasan sebagus itu.

----------------------------------------------------------------------------- 

       Hari-hari Vita selalu dihiasi dengan keceriaannya. Sayangnya tak banyak orang yang mau berteman dengannya. Rata-rata teman di sekolahnya adalah anak dengan orang tua berkecukupan. Tapi Vita tak pernah malu dengan keadaan orang tuanya, ia tak keberatan tak punya banyak teman ketimbang harus kecewa dengan keadaan orang tuanya. Tak aneh kalau setiap waktu istirahat tiba, teman satu-satunya hanya lah Bu Tati. Beliau tak pernah keberatan membacakan buku cerita untuk Vita, beliau juga tak pernah menolak untuk mengantar Vita pulang ke rumahnya kalau hari hujan. Bu Tati tidak punya keluarga. Dalam usianya yang sudah cukup berumur, tak ada orang yang membantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Tak jarang Bu Tati terlihat lesu di sekolah, tapi beliau selalu menampakan wajah yang ceria di depan murid-muridnya. 

      Senyuman kini terlukis diwajahku mengingat sosok Bu Tati. Aku mengenalinya, sosok penuh wibawa dan luar biasa. Halaman demi halaman buku biru itu kubaca sambil terawa sendiri.. Vita berulang tahun yang ke-8, kulihat foto seorang gadis kecil bergaun merah jambu bersama dengan sosok luar biasa itu.. Ya, tak salah lagi itu adalah foto Vita dengan guru kesayangannya Bu Tati. Di hari istimewa itu, Ayah Vita sengaja mengadakan pesta ulang tahun untuk Vita. Ibu sengaja membuatkan gaun merah jambu sederhana untuk Vita pakai. Tak banyak yang datang ke pesta sederhana itu. Hanya 2 orang sepupunya dan 1 orang yang tak kunjung datang juga.. "Akan kah ia datang ibu?," tanya Vita tak sabar. "Pasti sayang, masa sih ia tak mau datang ke pesta ulang tahunmu?, mungkin ia sedang bingung memilih baju yang tepat untuk dikenakan ke pestamu ini," jawab ibu menghibur. Pesta sederhana itu tak juga dimulai. "Kita mulai saja sekarang ya sayang," kata ibu. "Nggak! pokoknya kalau belum datang Vita ga mau mulai," teriak Vita. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. “Asik-asik!!! Bu Tati datang! Bu Tati datang!!,” teriak Vita. 

            Akhrinya pesta pun dimulai. “Ayo kita buka kadonya!,” kata ibu. Kado di hari ulang tahunnya ini tidak banyak seperti kado ulang tahun anak-anak kaya jaman sekarang, yang kalau merayakan pesta ulang tahun, kadonya bisa berpuluh-puluh. Dua, ya hanya dua kado. Tapi bagi Vita dua kado sudah cukup. Kado pertama yang ia buka adalah kado dari orang tuanya. Sebuah kamera sederhana dengan filmnya. “Kita gunakan bersama-sama ya nak,” kata ayah. Untuk Vita, yang masih berumur 8 tahuin itu bukan lah hal yang cukup menarik, tapi ia tahu itu adalah kado yang sangat berharga. Kado terakhirnya adalah kado dari Bu Tati, sebuah buku biru. "Buku cerita kah ini bu?, kok kosong?," tanya Vita. "Ya, bisa jadi ini adalah buku cerita yang sangat menarik," kata Bu Tati. "Tergantung apa yang akan kau tulis didalamnya. Buku ini adalah buku mimpi, jika kau menulis mimpi-mimpimu dibuku ini, maka kelak mimpimu itu akan tercapai,” tambah Bu Tati. Vita langsung bersemangat mendengar itu. 

Setelah acara foto-foto, pesta pun selesai. Semua tamu sudah pulang, waktu juga telah menunjukan pukul 9 malam. Vita sudah berganti baju dan siap untuk tidur. “Vita, ayo masuk ke kamarmu, besok memang libur, tapi itu bukan alasanmu untuk tidur malam,” kata ibu. Vita pun berlari menuju kamar tidurnya. Ia tak langsung tidur, berkali-kali ia buka buku biru pemberian Bu Tati itu. Vita mengambil sebuah pulpen, lalu ia beri nama buku itu: “Coretan Mimpi. Punya Vita.” Dengan yakinnya ia goreskan tinta diatas lembaran buku itu. “Buku ini kan kujadikan buku tentang mimpi-mimpiku. Hai, buku jangan kau lupakan janjimu ya. Setiap impian yang kutuliskan harus kau kabulkan,” kata Vita dalam hati. Dengan semangat ia pun mulai menulis mimpi-mimpinya. 

-----------------------------------------------------------------------

Buku biru itu pun penuh dengan berbagai impiannya. “Aku ingin mendapat nilai terbaik saat kululus nanti dari SD”, “Aku ingin mendapat teman yang banyak”, “Aku ingin kue buatan ibuku laku”, “Aku ingin ayah dapat pekerjaan yang lebih baik”, itu adalah sebagian dari mimpi-mimpinya yang kubaca di buku itu. Halaman demi halaman kubuka, tiba-tiba aku sampai pada halaman penuh tinta merah dan coretan-coretan. Di atasnya tertulis “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Tulisan-tulisan dengan tinta biru terhalang oleh coretan tinta merah. Ku perhatikan baik-baik halaman aneh itu. 

----------------------------------------------------------------------------- 

Sejak hari ulang tahun Vita yang ke-8, Bu Tati jarang masuk kelas. Banyak kabar bilang, ia terkena penyakit, entah apa itu. Saat itu Vita berumur 11 tahun, ia telah menduduki bangku kelas 6. Pagi itu Vita duduk sendiri di teras kelasnya, menulis sesuatu di buku biru dengan semangatnya. “Hari ini akan kutunjukan mimpi-mimpiku di buku ini pada Bu Tati,” kata Vita dalam hati. Tak sabar ia menunggu bel pulang berbunyi. Ketika waktu pulang telah tiba, seluruh murid berlarian menuju gerbang sekolah, terkecuali Vita. Ia berlari menuju ruang guru, “Semoga hari ini ia masuk,” harap Vita dalam hati. “Bu, apa anda yakin, anda bisa menghadapi ini? Kami tidak yakin kau akan seproduktif dulu. Akhir-akhir ini anda jarang masuk kelas. Saya khawatir bu, apalagi anda sudah tak punya kerabat dekat lagi. Saya tunggu keputusan ibu besok ya,” kata seseorang di balik pintu ruang guru. Kepala sekolah keluar dari balik pintu itu, “Ada apa gerangan?,” tanya Vita. 

“Siang bu,” Vita mengucapkan salam. Terlihat wajah lesu penuh dengan air mata. “Ada apa bu? Ibu masih sakit?,” tanya Vita. “Tidak Vita, ibu baik-baik saja kok. Ada apa kamu kemari?,” jawab Bu Tati sambil menghapus air mata dari wajahnya. “Ini bu, buku pemberian ibu waktu itu? masih ingat kan? Vita bingung bu, sudah berpuluh-puluh mimpi kutuliskan di buku ini, tapi belum satu pun terkabulkan,” keluh Vita. Bu Tati hanya terdiam dan tersenyum. “Buku itu menunggu waktu yang tepat untuk mengabulkannya. Saat kau sudah siap kau pasti akan meraih mimpi itu, asal kau mau berusaha dan bersabar,” kata Bu Tati. “Ya bu. Oh ya, ada satu mimpi besarku bu. Tapi belum saya tuliskan, saya takut mimpi itu tidak akan terkabulkan jika kutulis di buku ini,” kata Vita. “Apa itu?,” tanya Bu Tati penasaran melihat senyuman Vita. Tak sempat Vita mengucapkannya tiba-tiba Bu Tati terbatuk. Vita belum pernah melihat ini sebelumnya, darah... ya, tak salah lagi itu darah. “Ibu kenapa?,” tanya Vita khawatir. Bu Tati tidak menjawab dan berlari menuju toilet. Apa itu tadi?

Mulai dari kejadian itu, Bu Tati di kabarkan keluar dari sekolah ini dan tidak akan mengajar lagi. Vita yang hampir menyelesaikan sekolah tingkat dasarnya seperti hilang harapan. Esok adalah hari kelulusannya, ia dapat peringkat 10, tak seperti yang ia harapkan, tak seperti yang ia tulis dalam buku itu. Malam itu, ia baca seluruh mimpi-mimpinya dalam buku itu, tak ada satupun yang tercapai. “Aku sudah berusaha, sudah bersabar, sudah berdoa. Apa lagi yang kau minta hai buku? Apa?,” kata Vita dalam hati. Ia buka halaman satu persatu, ia baca sebuah tulisan dalam buku itu, yang pernah ia tulis dan ia anggap sebagai mimpi besarnya. Setetes air mata jatuh ke atas lembaran itu. “Di mana kau sekarang bu?,” Vita bertanya dalam hatinya. Seperti hilang harapan, tanpa sadar ia goreskan tinta merah dalam buku itu “BU TATI BOHONG!! AKU BENCI DIA!”. Ia robek satu lembar dari buku itu.  

----------------------------------------------------------------------------- 

Tak pernah ia tulis mimpi-mimpi lainnya di buku biru itu lagi. Saat Vita sudah menduduki bangku SMP, tiba-tiba ia dapat berita baik, “Vita!, tunggu!,” panggil seorang anak laki-laki sebayanya. Vita berhenti dan berbalik, ya, ia adalah salah satu murid di SMP itu, --entah siapa namanya, tak ia tulisakan di buku ini-- “Aku punya berita, ini aku kemarin dapat alamat tempat Bu Tati tinggal,” kata laki-laki itu. Vita hanya terdiam, ia belum pernah diajak berbicara dengan satu pun anak sebayanya. “Mungkin besok aku bisa mengantarkanmu ke tempat ini,” anak laki-laki itu menawarkan. Seakan mimpinya terwujud, ia dapat teman sekaligus informasi tentang di mana ia bisa bertemu guru kesayangannya itu. 

Seperti janji anak itu menjemput Vita. Ia sepertinya orang kaya, “Hai Vit, ayo naik. Ngga usah malu-malu. Supirku dengan senang hati mau membantu kita mencari alamat ini,” kata anak itu. Alamatnya memang asing dan memang setelah di telusuri rumah itu sangat jauh dari rumah Vita, apa lagi dari sekolahnya. Tak terbayangkan betapa jauhnya perjalanan Bu Tati ke sekolah setiap harinya. Vita ingat, beliau adalah guru terdisiplin, ia tak pernah telat. ‘Tok tok tok’, “Assalamualaikum, Bu Tati?,” kata anak laki-laki itu. Tak ada jawaban, rumah itu sepertinya sangat sepi. Tiba-tiba seseorang menegur dari sebelah rumah itu, “Nyari siapa nak?” “Kami sedang mencari guru kami bu, namanya Bu Tati, mungkin ibu kenal?,” tanya Vita. Tiba-tiba raut wajah orang itu berubah. Ia keluar dari pagar rumahnya dan mengajak kami masuk kerumahnya. 

“Begini nak, rasanya tak enak kalau harus bicara di luar,” kata ibu itu. “Memangnya kenapa bu?,” tanya Vita. “Begini, saya ini temannya Bu Tati dari sejak kecil, rumah kami bersebelahan, ya seperti yang kalian lihat sekarang. Ia dulu adalah anak periang, tapi sejak kematian ibu, ayah, dan adiknya dalam kecelakaan, ia tak pernah mau bermain lagi dengan saya. Sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah sekolah sebagai guru. Entah berapa tahun yang lalu, setelah lama bekerja disana, ia kembali terlihat ceria seperti dulu. Ia mulai mau berteman dengan saya lagi. Terkenal dengan keramahannya, semua orang di sini selalu membantunya. Tapi baru beberapa minggu yang lalu...,” tiba-tiba ibu itu berhenti dan menundukan kepalanya serta menutup wajahnya dengan tangannya. “Tapi kenapa bu?,” tanya Vita heran. “Ia jatuh sakit. Sudah terlalu parah untuk diobati, tapi ia tetap saja tak mau dirawat di rumah sakit atau dibawa ke dokter...,” ibu itu berhenti lagi. 

“Lalu bu? Dimana ia sekarang? Di rumah ini kan bu?, atau ada di rumahnya? Beri tahu aku sekarang bu, aku tak perlu mendengar cerita lainnya, aku hanya ingin tahu dimana ia sekarang?,” jelas Vita. Perasaan takut tiba-tiba menutupi hatinya. Wajah ibu-ibu itu kini penuh pertanyaan, “Vita kah namamu nak?,” tanya ibu itu. “Ya,” jawab Vita heran. Ibu itu berdiri meninggalkan mereka dan pergi membawa sebuah amplop berwarna merah jambu. “Maaf, aku tak sanggup mengatakannya. Vita, ini sebuah surat untukmu dari Bu Tati. Ia menitipkannya padaku sebelum ia pergi,” kata ibu itu. Kini perasaan Vita berubah menjadi keheranan. Mereka pun pulang. Vita diantar pulang sampai rumah olah teman barunya itu, “Maaf ya Vit, aku tak bisa mempertemukanmu dengan Bu Tati,” kata anak laki-laki itu. “Ngga apa-apa. Oh ya, dari mana kau kenal Bu Tati?,” tanya Vita. “Suatu hari nanti kau akan tahu itu,” kata anak laki-laki itu, ia pun pergi dengan mobilnya meninggalkan Vita dengan sejuta pertanyaan dalam pikirannya. 

----------------------------------------------------------------------------- 

            Kini aku termenung menatap buku itu. Robekan itu masih ada, tepat satu halaman sebelum coretan merah itu. “Tulisan apa ya yang ada dirobekan itu?,” tanyaku penasaran. “Rion!!, sudah selesaikan? Ayo bantu ibu memindahkan barang-barangmu ini ke dalam mobil,” panggil ibu dari bawah. Kututup buku itu dan menyimpannya dalam tas ranselku. Aku pun turun, ‘Ting tong’ terdengar suara bel. “Aku saja yang buka pak,” kataku pada supirku. Ketika aku sampai di gerbang depan tak ada siapa pun. “Apa sih maunya? Pasti anak-anak iseng lagi,” kataku menggerutu. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jambu tergeletak di bawah gerbang rumahku. Aku ambil amplop itu. Tiba-tiba ingatanku kembali pada seorang perempuan manis dengan sejuta mimpinya itu. “Vita,” kataku teringat pada gadis manis itu. Kubuka ranselku dan mengambil buku biru itu.  “Vit, apa sih alasan kamu ngasih buku ini ke aku?,” tanyaku dalam hati. “Rion, ada tamu ya?,” tanya ibu sambil membawa beberapa tasku. Lamunanku tentang gadis itu pun buyar, “ngga ada bu, kayaknya anak-anak iseng deh,” kataku sambil kembali membantu ibuku memasukan tas-tasku ke bagasi mobil. 

            Semua sudah beres, saatnya aku untuk pergi meraih mimpiku itu. “Ayo pak, ke bandara, cepat ya nanti ketinggalan pesawat,” kata ibu pada supirku. Mobilku pun melaju, aku kembali termenung, kubuka amplop merah jambu meisterius yang kutemukan di depan gerbang itu. Sebuah surat, kubaca surat itu:

“Assalamualaikum, hai Vita. Apa kabarmu nak? Rindu ibu pada setiap keceriaan dan senyumanmu dikelas. Maaf ibu tak bisa menemuimu lagi. Ibu titipkan surat ini pada sahabat ibu yang paling bisa ibu percaya. Ibu tak bisa meneruskan mengajar di sekolah itu lagi nak. Sakit yang diderita ibu terlalu berat. Maaf kan ibu ya nak, ibu janji jika ibu sembuh nanti ibu akan menemuimu nak, entah bagaimana caranya. Ingat, raih lah mimpimu dengan segala usaha dan doa bukan karena buku. Buku hanyalah tempat kita menuliskannya saja. Terwujud atau tidak terwujud mimpi itu tergantung pada kesungguhan diri kita meraih mimpi itu. Jika waktunya telah tiba, mimpi akan datang kepadamu ketika kau telah berusaha. Ingat janjimu ya nak, raih mimpimu setinggi langit! Ibu sayang kau. Kalau kau mau tahu, adik ibu dulu sangat mirip denganmu. Ia juga punya banyak mimpi sepertimu. Maaf ibu mungkin tak bisa bertemu denganmu lagi. Ingat pesan ibu, kau masih punya banyak waktu untuk menggapai mimpimu. Ingat itu. Peluk, cium hangat Ibu Tati.”

            Aku terpaku. “Inikah amplop yang waktu itu diberikan pada Vita?,” tanyaku bingung, “Kenapa bisa sampai dirumahku?.” Kukeluarkan buku biru itu dari dalam ranselku dan aku pun mulai membacanya lagi. “Hari ini aku dapat kawan baru, seperti mimpiku,”  tulis Vita dalam buku itu, “ Dia anak yang sangat baik. Aku tahu dia adalah orang berkecukupan, pernah sekali aku berkunjung kerumahnya. Rumahnya besaaaar sekali. Walaupun dia orang yang kaya, ia mau berteman denganku. Senangnya! Satu mimpiku tercapai. Aku akan berusaha jadi orang yang peduli dengan sekitarku agar dapat teman lebih banyak lagi.” Seiring berjalannya waktu satu demi satu mimpi Vita terwujud. Dengan usaha gigihnya ia pun mendapat nilai terbaik dikelas. Ia juga punya banyak teman.

Tapi sepertinya itu tak berjalan lama, “Hari ini aku harus pergi ke dokter. Kata ibu kemarin aku mimisan dan langsung pingsan. Aku mungkin kecapean. Sahabatku juga ikut mengatarku ke dokter.” Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi aku lihat ibu menangis, apa yang terjadi?,” tulis Vita dalam buku itu. Aku terdiam seaat mengingat hari itu. Saat itu Vita menangis seharian, “Aku ingin pulang,” kata Vita pada orang tuanya. Ya, memang ia langsung pulang hari itu. Tapi ia tak pernah masuk sekolah sejak saat itu. “Hari ini ia datang menjengukku! Aku senang sekali,” tulis Vita. Vita tertidur lemas di kamarnya. Sahabatnya itu selalu menemani Vita. Ia lah yang menghibur Vita dan membuat Vita selalu tersenyum, “Kau akan baik-baik saja,” itu lah kata-kata yang sering diucapkannya untuk menghibur Vita.

Vita terkena kanker darah. Karena orang tuanya tak sanggup bayar terapi, ia tak pernah menjalankan pengobatan seperti pengidap penyakit kanker lainnya. Hingga suatu saat ia harus menginap di rumah sakit. “Ya Allah, ini kah kesempatan terakhirku untuk bermimpi. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Aku belum jadi guru seperti Bu Tati. Aku belum membuat bahagia orang tuaku. Masih banyak yang inginku lakukan,” tulis Vita dalam bukunya. Halaman selanjutnya kosong tak ada tulisan lagi. Kututup buku itu.

Aku termenung, menatap jendela luar mobil. “Macet,” kataku dalam hati. Kulihat wajah ibu yang mulai gelisah. “Tenang bu, ngga bakal telat kok,” kataku. Aku seakan sudah tak memikirkan soal pesawatku yang mungkin sebentar lagi akan terbang meninggalkanku. Dalam pikiranku kini hanya tertulis nama sahabat yang sudah lama tak kutemui. Aku sangat bangga punya teman sepertinya. Ia lah yang mengajarkanku untuk bermimpi. “Mimpi itu adalah salah satu cara kau mengatur jalan mimpimu,” kata Vita. Ya, Vita lah sahabatku itu. Vita sangat percaya padaku, ia bahkan memberitahukan segala mimpinya padaku. Aku lah yang menemaninya saat mencari Bu Tati dan menemaninya saat ia sakit. Jujur, dulu aku adalah anak pemalu. Sejak kelas 1 SD aku sekelas dengan Vita. Aku tak pernah mempunyai teman karena sifatku ini. Hingga aku kenal dengan anak seberani dan periang seperti Vita. Aku kagum dengannya, aku ingin punya teman seperti Vita. Jalanku untuk lebih mengenal Vita terbuka setelah Ibu Tati datang. Beliau lah yang telah diam-diam mengajariku untuk berani. “Laki-laki itu harus berani! Masa loyo kayak gini?,” kata Bu Tati waktu itu. Itu lah akhir dari sifat pemaluku. 

Saat itu aku menjenguknya di rumah sakit. “Hai Vit, sudah baikan? Tadi UN sudah selesai. Soalnya mudah loh, aku yakin kamu juga bisa mengerjakannya,” kataku pada Vita. Vita hanya tersenyum saat itu. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Rion, ini kutitipkan padamu, ini adalah buku mimpi. Jika kau menuliskan mimpimu di dalamnya, maka kelak mimpimu akan tercapai,” kata Vita sambil memberikan buku biru lusuh itu padaku. 

Sejak saat itu lah aku tak pernah bertemu dengan Vita. Aku tersenyum mengingat hari-hariku bersama sahabatku itu. Aku membuka buku itu lagi. Aku seharusnya menuliskan mimpiku di buku ini seperti kata Vita. Tak sengaja halaman terakhir buku itu terbuka, terdapat tulisan di halaman itu yang belum sempat kubaca: 

Rion, terimakasih kau telah menjadi sahabatku. Mimpi terbesarku adalah menjadi guru. Tapi kini aku sadar, mimpi terbesarku bukan itu. Tapi aku ingin bisa melakukan banyak hal bersamamu. Tak ku sadari... aku ingin terus bersamamu meraih mimpi bersama. Namun sepertinya tak ada lagi harapan, aku dengar bahwa aku terkena kanker darah tingkat lanjut. Hanya 3-80% orang saja yang bisa sembuh dari penyakit ini. Itu juga yang secara rutin menjalankan terapi. Aku minta maaf selalu menolah bantuan dari ibumu. Tapi mungkin ini memang takdir Allah. Mimpiku masih banyak. Kau lihatkan ada robekan kertas ditengah-tengah buku ini? Itu adalah mimpi terbesarku. Tentu saja menjadi guru seperti yang pernah kuceritakan. Aku selalu menyimpan robekan kertas itu walau sempat kubuang. Aku tahu kau selalu bilang aku akan sembuh dan aku tahu aku bisa sembuh dari penyakit ini. Rasanya senang bila bisa kembali masuk sekolah dan bermain bersamamu lagi. Buku ini kuberikan padamu untuk kau lanjutkan. Tulis mimpi-mimpimu di atasnya dan perlihatkan padaku saat aku sudah sembuh nanti. Kau harus janji!” 

Setetes air mata jatuh dari pipiku. Andaikan itu terjadi. Sehari setelah ia memberikan buku ini padaku, pagi sekali, aku terbangun dari tidurku. Aku melihat ibu mengenakan baju serba hitam. Aku tak mau keluar dari kamar. Saat itu ibu mengetuk pintu dan mengajakku, aku tahu aku tahu apa yang terjadi. Saat ibu mengatakannya aku berteriak dan menutup telingaku. Ya, Vita telah pergi meninggalkan sejuta mimpinya yang tertulis di buku itu.

Aku telah sampai di bandara. Semua koperku sudah diangkut menuju kabin pesawat. Aku berpamitan dengan ibuku. “Titip salamku pada ayak ya bu,” kataku. Aku memeluk ibuku. Seorang pramugari menunjukkan kursi dimana aku harus duduk selama 8 jam. Jerman, ya, Jerman adalah negara tujuanku. Di sanalah nanti aku akan melanjutkan sekolahku. Aku kembali membuka amplop merah jambu misterius itu. Ternyata ada satu surat lagi. Dilihat dari tulisannya sepertinya aku kenal. Kubandingkan surat tadi dengan surat yang Bu Tati berikan untuk Vita. Ini! Tak salah lagi, tulisannya sama. Bu Tati kah orang yang menulis dan mengirimkan surat ini? Aku membuka surat itu: 

“Assalamualaikum nak? Lama tak berjumpa. Tak kubayangkan sepertinya kau kini sudah besar dan semakin tampan. Ini surat dariku untukmu beserta surat yang pernah kuberikan untuk Vita. Aku tak sempat memberikan ini pada Vita secara langsung. Aku sakit parah saat itu. Rumah sakit sepertinya tempat yang tepat untukku beristirahat. Aku sengaja tak memberitahukan nama rumah sakitnya. Takut Vita khawatir dengan keadaanku. Kini aku sudah sembuh, uang pensiunan yang sekolah berikan waktu itu sangatlah membantu pengobatanku. Sekarang aku tinggal di rumah penampungan. Di sini aku mengajarkan berbagai hal yang sama seperti dulu pada orang-orang seusiaku. Lucu ya? Bagai mengajar kalian lagi. Aku bertemu dengan ibunya di pemakaman Vita. Ia memberikan surat yang dulu kuberikan pada Vit. Bersama surat ini kutitipkan surat untuk Vita itu. Jaga baik-baik surat itu bersama dengan buku yang pernah kuberikan pada Vita. Salam, Bu Tati.”

Andai Vita tahu isi surat ini, pasti ia akan bahagia. Waktunya pesawat terbang. Seluruh penumpang telah memasang sabuk pengamannya, begitu pun aku. Aku menatap keluar jendela pesawat. Aku sudah terbang menggapai mimpiku sekarang. Kuambil sebuah pena dari tasku. “Mimpiku:1. Melanjutkan sekolah ke Jerman. Vita, aku janji, kuakan meneruskan episode-episode dalam menggapai mimpi-mimpi itu. Hingga suatu hari nanti kau tahu bahwa mimpi terbesarku adalah bertemu dengan sahabat terbaikku dan berkata ‘kau lah mimpi terbesarku’... “


fin :)